Minggu, 14 September 2008

Air Mata Tuhan

Terompet

lengkingan terompet bertopi

lambat-lambat menguak sunyi

gerimis mengiris mimpi

seolah takkan ada pagi hari

saat masa berpindah kala

air mata bercampur lumpur

mengguyur lereng Argopuro[1]

dan duka semakin membahana

Kemiri menyerpih nyeri....

Pakis teriris perih.....

Suci dinodai api....

Panti menuai mati....

Glagahwero[2] berpeluk sepi

semua warga menoreh doa

di gumpalan awan yang berduka

semua mata menitik luka

pada langit yang terus murka

Januari 2006.


Serpong

kala terlentang

dalam himpitan papa

terkapar kelam

wajah bermuram durja

merengut dua nyawa

indah nian lintang [3]

terdekap dalam benderang

melengkung penuh arti

tapi sungguh malang

srigala berbulu orang tua

jatuhlah dua merpati

dalam kobaran api

satu persatu memuai

menetesi rasa nyeri

yang membusuk dalam jerami

hanya bayi...

mengapa dihabisi?

Januari 2006.


Sekarat

“bruukk”...

dan kampung Gunungrejo[4] lenyap

ku baca itu di

KOMPAS

amanat hati nurani rakyat

ku lukis itu di

KANVAS

hati rakyat tersayat sekarat

Awal 2006.


Mata

mataku tergerak

tuk jelajahi seluruh sudut koran

ternyata tak hanya manusia

kambing putih pun jadi korban

mataku terpejam

ceceran hitam terus membayang

penolakan makin keras

impor beras makin deras

mataku tengadah

langit lapuk hendak mengamuk

jiwa Hun Sen yang anti kritik

kaparkan si tua di kolong jembatan

mataku tersentak

saat ilalang memerahkan awan

manuver lurah di Depok

niat sang guru jauh berbelok

Jatiwangi, Februari 2006


Kota Sepi

kota sepi

saat kau cari

yang ada hanya belati

menguliti isi kepala dan nurani

kota sunyi

saat menyendiri

yang kau temui hanya api

prasangka dan dengki

siapa punya kunci

masuklah ke kota ini

teruslah melangkah

dalam kelam sejarahnya

coba nyalakan kemenyan

panggil arwah Nyi Rambut Kasih[5]

berceritalah berdua di gunung Tempuh[6]

cerita sama tentang sesuatu yang tak pasti

Jatiwangi, 4 april 2006.


Curug Sawer

apakah cukup dengan mimpi

wangi rerumputan di Curug Sawer[7]

bisa tercium dari beranda istana

yang dipenuhi sampah

apakah mimpi setetes air

yang terjun dari Curug Sawer

dapat merubah sampah jadi wewangian

di beranda istana yang penuh rerumputan

apakah mimpi kehidupan

dapat memindahkan istana berbau sampah

dekat Curug Sawer yang penuh rumput

agar penghuni kota ini kembali punya harga diri

Jatiwangi, 8 april 2006.


Sang Pengembara

——tuk Habib Nasir Al-Katiri

pengembara berkulit legam

melejangkan panah derita

dari mata yang membiru

lekang diiris sembilu

terompah tuanya bergesek

dengan alang-alang berminyak

bagai jemari keriput memetik dawai

terdengar gemerisik yang parau

pori tangannya terpupuri dedak

menyimpan api yang siap meledak

ibarat mara yang hinggap di ranting

terbakar sudah seluruh dedaunan

langkahnya bersesapan di pematang

berbau kemenyan yang membeku

ia basuh sekam tuk jadi manikam

dengan mantra berpeluh doa

Panjalu Ciamis, 27 Mei 2006


Jalan Sang Raja

——untuk Evi Idawati

di jalan ini

jejak keabadian berhenti bergetar

saat Panembahan Senapati lelaku tapa brata

tanpa kata mengendalikan jiwa

berbeda dengan ratusan ribu syair tentang agama

tetap saja tidak meresap dalam nurani cinta

di jalan ini

gurat kesedihan terputus dalam remang

saat nafas subuh mengoyak-ngoyak mimpi

bumi bergerak membelah kesunyian

tidak seperti pagi yang selalu menyapa ceria

jasad-jasad kecil terkapar dalam ketakutan

di jalan ini

untaian dzikir menembus gerimis yang letih

jemari lemah mengukir batu nisan

dengan sisa reruntuhan

hingga malam berselimut dingin yang memucat

kenangan yang menyesakkan terus menggumpal

sepanjang jalan telah menjadi pusara

di jalan ini

malam dan kegelapan tidak cepat berlalu

setiap waktu cahaya tertutup asap ranting sembilu

posko derita berjejer dengan tumpukan batu bata

semua perabotan dan perut kelaparan rata dengan tanah

menahan diri dalam kehampaan dan kesedihan


di jalan ini

Tuhan bersembunyi di bawah singasana luka

dengan cahaya Nya cinta dan kasih sayang tetap ada

dari bilik pengungsian kerelaan melelehkan ketakaburan

membiarkan matahari berkelana di malam hari

agar tersenyum di pagi hari

dari jalan ini

sebait ayat terbaca

seluruh kehidupan manusia menjelma nyata:

ada cahaya kemanusiaan yang bersinar abadi

ada bencana kebiadaban yang mengusik nurani

Imogiri, 14 Juni 2006


Air Mata

dalam percikan api

mata pengungsi menyala

bertumpu pada lumpur derita

semayam di antara kembang dan kemenyan

sebutir debu berseru:

“ akulah nafas kehidupan,

akulah angin kegelisahan,

akulah ruh kemanusiaan ”

: debu membeku dalam kelopak mata

yang berhenti bergerak

di pucuk awan merapi

bergayut cemas dan kabut gelap

angin meronta bersautan bunyi kentongan

mencairkan embun yang tak dingin

semua hati berbisik:

“ Gusti, ampuni diri,

kembalikan nurani,

ke mana hamba pergi ?”

: awan panas berarak melewati alis mata

yang mengerang dalam kesunyian

di atas rerumputan kering

beribu jasad rebah dalam selimut angin malam

menyerah pada sabda alam saat fajar mengeluh

pada banyangan hitam yang menina bobokan harapan

mulut-mulut meringis:

“ mengapa garam, gula, asem,

merica, cabe….semua terasa pahit ?”

: keris pusaka menusuk bola mata

menoreh luka dalam malam yang semakin gulita

Imogiri, 14 Juni 2006

Termas

bergumam mantra-mantra kiai

tubuh renta itu bergerak kian kemari

bagai ombak yang menunggangi gunung api

terapung dalam nyeri :

kudengar dzikirnya bagai serpihan batu

dari tebing curam sepanjang jalan berliku

antara Ponorogo Pacitan yang membeku

dua mata beradu pandang

tatapannya tajam menghujam

bagai salju jatuh di punggung pemecah kerikil

tergolek dalam senyap :

kulihat bajunya ditenun dari serat api

yang ia petik dari gugusan zarah

sejarah panjang pesantren Termas

setumpuk abu kegalauan

menyedak kerongkongan yang parau

kala azan berkumandang airmatanya terjatuh

tubuh renta itu bersujud pada kesunyiaan :

kurasakan kepedihan dari gemetar nadinya

berdenyutkan derita dalam serpihan kaca

dia amat terluka saat agama kehilangan makna

tiba-tiba ia berdiri

berteriak, “jangan kau lukai hati kiai dan para santri”

mulutnya terus mericau dengan logat jawa kuna

mengeja nama para ulama dan lafadz pasalatan :

irama azan dan nasehat takwa sang khotib

sirna di telinga yang menyimak dengan khusyu

syair Mbah Dim

dan wirid pena Syeikh Mahfudz at-Tirmisi

Termas, 30 Juni 2006


Air Mata Tuhan

cahaya Mu terlalu silau

bagi rahasia kehidupan ini

pusaran air

jilatan api

semburan lumpur

dan asap membumbung

menjelma puting beliung

mata Mu bersimbah air mata

mata air untuk air mata kepedihan

mengalir, melingkar, meliar

mengancam, menelan semua

di sebuah sudut neraka

ada tetes air mata yang tersisa

air mata cinta

Jogja, 1 Juli 2006


Genta

genta kematian

berbunyi bergantian

tsunami

mengguyur nyeri

di bumi serambi suci

gempa bumi

mengoyak mimpi

saat fajar mengerang kota revolusi

lumpur api

mengubur hati

hingga muara pelabuhan perak

kapan genta itu

berhenti berbunyi

sebelum negri ini

berubah sunyi

mati

Kebumen, 18 Juli


Prahara

jejak mungil anak ku

lenyap ditelan lidah tsunami

: jalan Pangandaran tertimbun anai-anai

riuh pengunjung di pasir putih

dipukul ombak jauh ke tepi

: jejak nafas retak membayang di atas bara

celoteh penjaja souvenir

terkayuh ke tengah biduk prahara

: sekejap hangus bersuris asap larva

ombak purus meruah perkampungan

menjala para balita dan si tua renta

: perahu bertambatan di ranting pepohonan

Pangandaran, 20 Juli 2006


Ku Tanya

——untuk Pak Endo Suwanda

ku tanya Kiai

apa Demokrasi

ia jawab : Syuro

ku tanya Kiai

tentang Seni

ia bilang : Syuuuur

ku tanya Kiai

mau tidak uang korupsi

ia berbisik : Serious ?

Hotel Padjadjaran Tasik, 26 Juli 2006


Jenuh

di Aceh

paruh lusuh

tarian Seudati berkalang mati

di Bali

tubuh luluh

telapak tangan berhitung jejak

di Jakarta

buruh rusuh

tekad baja bersapu ingus

di Jogja

subuh runtuh

tempayan berkurap buluh

di kamar

peluh kumuh

tengkurap ku berpeluk jenuh

Cipasung, 26 Juli 2006


Jumat

sejenak,

puji ku lantunkan saat tubuh lelah

mengenang Sang Ummy yang terus bergerak

bagai untaian tasbih menghitung detak

jangan seperti keledai !

ia bawa ilmu dalam karung sembilu

bergegaslah,

sebelum api memercik nafas kematian

dan tembikar kehidupan pecah satu persatu

genta Jumat

memanggil para pencinta Ilahi

tuk dzikir menyalakan nafas

bangun dari penjara hasrat dunia

tetaplah,

dengan tuah Nya

kau berkhalwat di pepohonan bertangkai embun

agar setiap permohonan, dijawab Nya :

Amin.

Jatiwangi, malam Jumat 27 Juli 2006


61

enam puluh satu

nurani bangsa membeku

merdeka !

: sang saka terkulai di punggung derita

enam puluh satu

hati pemimpin membatu

merdeka !

: punggung buruh ditembus peluru

enam puluh satu

bibir rakyat membisu

merdeka !

: pada bangsa lain, punggung kita membungkuk

enam puluh satu

wajah pertiwi memilu

merdeka !

: jiwa gemetar memandang punggungnya

Jatiwangi, 17 Agustus 2006


Pemimpin Bangsa

Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat

Pak Harto Penyambung Lintah Darat

Habibie Penyambung Ludah Barat

Gus Dur Penyambung Luka Umat

Mbak Mega Penyambung Luang Sesaat

SBY Penyambung Ludruk Sekarat

Jadi,

Siapa yang memotong Urat Nadi Rakyat?

Waled, 16 Agustus 2006


merah putih

mata ini melunyah pada

liur lilin yang memerah di atas kertas

putih. temaram tersibak lelatu

yang menari di pucat wajahku.

meleleh.

lesehan beralas koran. larut dalam kabut

penuh lumut. lembayung melilit

sang sangka berwarna merah jingga.

mawar putih di genggamanku.

merekah.

malam larut. embun menitik dari ujung kain

lusuh. berpuluh kali polusi membedaki serat

yang makin sesak. demi negri ini, ia terus

melambai dan berteriak lirih:

Merdeka!

Balai Kota Cirebon, 15 Agustus 2006


Dzikir Ku di Banten

karavan duapuluh tiga bis beriringan menuju kuburan raja-raja ; jejak sejarah membayang di bawah Menara tua

bagai belalang, jemari peminta-minta merogoh iba. saat ribuan peziarah menyelimuti nisan-nisan tua: recehan bertaburan di wajah-wajah kumuh dan telapak penjaga makam yang angkuh

lapak-lapak tua berselimut jajanan dan souvenir para pencinta wali: emping, sawo, kopeah, minyak wangi, tasbih, Quran, buku-buku doa dan air mantera yang dijajakan dengan harga setengah dusta

entah mengejar apa. semua berlari. tiba-tiba, detak terhenti, retina mata ditusuk adegan nyeri. “kereta!”, suara setan itu menjungkalkan dua dara dan seorang anak kecil yang tertindih tubuh ibunya. Mereka terlentang di tengah rel kematian.

aku gemgam tangan mereka menuju masjid

ar-Rahman. bersujud dengan ribuan lebah yang terus terbang dari satu masjid ke jantung Ilahi; tiap malam Rabu. dan malam ini, di jemari ghaib Nya--- aku, istri, dua anakku, jamaah nariyah keraton kasepuhan Cirebon dan para inohong Banten---berdzikir.

Pandeglang, 26 Agustus 2006


al-Ahad

di serambi ini, seraut wajah terhenti. bagai titik berserakan dan azan memeluk mereka. karena tsunami, menara kota ini berurai air mata saat bayangan putih tapaknya lari; meninggalkan jejak

dan berduka.

ya, jelang senja aku berdiri. sama seperti dua tahun silam, duaratus tigapuluh ribu nyawa berlari ke garis finis dan masjid Baiturrahman terisi kemuraman

; ini hari Ahad !

jemari Nya melipat.

seperti penjual “sate matang” di Peunayong, bumi berderak karena hentakan botol kecap; kepulan asap beraroma, sepasang kekasih bercengkrama, mulut lahap dan seorang yang menengadahkan secarik kertas lusuh, menelan ludah.

aku menguap bagai ombak. gelisah. bukan karena desing di telinga saat melayang di gugusan pulau Sumatera, atau gumpalan rindu yang tersekat di tenggorokan ketika berpisah dengan anak-anakku di bandara; ada masa depan yang enggan dengan perubahan dan pengorbanan.

seorang dengan wajah masam menelusuri pemakaman sunyi. ranting kering dan serpihan perahu dikumpulkanya menjadi kayu bakar dan

memasak tanah kuburan yang masih merah; mereka tertawa dalam derita.

Peurada Aceh, 27 Agustus 2008

Jejak Tsunami

——untuk marzuki rais

dua tahun berlalu

aku baru berdiri di atas krueng Lamnyong[8]

sudut-sudut gampong hanyalah bayangan senja

dari gemuruh ombak

dan jejak !

ku berhenti. sejenak.

di puing-puing penjara keudah

genangan air mata meluas hingga batas simpang mesra[9]. di puncaknya, ada pena yang menggoreskan

suratan darah

dan luka !

hanya beberapa menit

lautan menyambangi serambi suci ini. mengoyak.

alis matanya yang keras menusuk butiran debu

sementara menara Baiturrahman memandang

dengan pilu, bagai seruas tebu

berulat

dan pahit !

Aceh, 27 agustus 2006


Sekarang

gerimis membasuh belukar: basah

dengan ingatan kelam—isu-isu, memar-memar, dan pedang

bermata dua, pada awan putih

ada merah jingga;

damai

datanglah ke kota ini. sekarang!.

nyak-nyak mekat ranumb[10] menawarkan:

buah pinang, kapur, sirih, gambe

dan pesona Malahayati

penjual air tebu tak perlu membuang ampas, biarkan

berserakan; tanda sebuah kebebasan

rumah-rumah bertopi putih bagai gigi yang

mengunyah ketakutan; dari anjing buta

yang begitu lama menyalak

dan tahinya menjadi anyir darah

sekarang, masjid breuek [11]tak perlu murung

gunung Janthao[12] jadi saksi bau mesiu

berubah embun di ujung ubun-ubun:

dan Tuhan tak perlu mengancungan rencong Nya

Banda Aceh, 27 Agustus 2006


Nyiur

biduk prahara

berserakan sepanjang pantai

: perahu nelayan berkapan pasir

nyiur nipah

bernapas dengan angin laut

: jasad kaku tergantung di ujung kuku

syair derita

bergema hingga ujung dunia

: lentera nyala tarik puntung[13]

Losmen Riza, Sigli Aceh, 28 Agustus 2006


Senyuman

bayangan fajar menjulur di jalan yang berliku saat embun masih membeku di atas tanah yang tertutup daun dan tiga ekor lembu bercengkrama dengan reremputan. di tempat ini tak mungkin ada salju :

tapi senyuman anak-anak sekolah bertelanjang kaki bagai sungai es di tengah tumpukan bara

yang tak hangus

wajah-wajah berminyak. debu yang melekat. sepatu berlumut dan kerikil yang membalut jalanan menanjak; keringat memacu mereka merobek mimpi yang pekat

di atas sana

bukit terjal setiap hari mengawasi bibir-bibir mengeja air mata. bangku rapuh. atap sekolah yang melepuh dan dua WC yang dijejali kotoran tigaratus manusia. ya, manusia.

sekali lagi, manusia

ini bukan cermin retak. aku tidak menggertak. aku lihat keceriaan mereka saat menyanyi sepanjang hari. aku hanya mengajak semua tersenyum; senyum nyeri bagi yang terus korupsi. senyum peduli bagi yang punya nurani ! itu saja.

MAN Tangse, Pidie. 30 Agustus 2006


Burung Gagak

membosankan. sepanjang Banda menuju Lhokseumawe. kepalaku hampir pecah, karena mata tersilap ratusan papan nama dan spanduk bergambar calon penguasa.

tapi, ini hanya perjalanan sore­­­­­­­­­­­­­­---melewati Saree, Sigli, Beureunuen, Matang baru Lhokseumawe--- semua ada batasnya, juga dusta.

berulang kali. burung hitam itu merendah seolah mau hinggap di pohon pinang. bagai awan hitam, suaranya adalah pertanda kematian bagi orang miskin yang kelaparan.

lumut laut membungkam batu karang

purnama disoraki serigala liar

fajar terbangun bukan karena kokokan ayam

perlahan. dedaunan bertuliskan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian dikipaskan dan dirobek gagak yang licik serta jahat: disuapkan pada mulut-mulut bau yang sobek karena belati dan janji.

pagi ini

kopi Gayo masih terasa pahit

Wisma Lilawangsa Lhokseumawe, 31 Agustus 2006


Hizib

hizib bahri

tak mampu menjahit cadar lautan

yang terkelupas

di atas altar

ribuan mantra bergetar

tak kuasa menahan gerbang

yang terus berputar

asma Ilahi

mengalun sunyi dari ribuan kuburan dangkal

korban Tsunami dan tiang-tiang tua meunasah

yang retak menanti belah

kapal Nabi Nuh karam di tengah kota. ribuan mata terengah dilamun ombak, akhirnya karam juga.

Sulaiman dan bala bantuan membawa matahari, melewati kerumunan semut yang tertimbun sampah tapi hanya menggeliat dan kembali mengayam mimpi

hai. tanpa darah merah, semua akan pecah. di bibir negeri, bangkitlah, sendiri, dan saat ini juga!

Uleelheue, 31 Agustus 2006


ku ikuti

ku ikuti

nenek renta bermata buta

menyeret langkahnya menelusuri jalan-jalan sempit

sepanjang pantai yang mengalungi Sabang; di tapal ini

ku hitung tetes air mata Pertiwi.

tongkatnya adalah petir

yang menyambar iba pada siapapun yang masih punya nurani. dengan susah payah ia turuni tanjakan semen ; dari tempat ini Indonesia memulai “I” nya

jengkal demi jengkal, ia melangkah dalam gelisah ; seperti bangsa ini, ia terluka dan tak berdaya.

ku ikuti

jejak dari bau sampah yang menyengat dari bajunya yang compang-camping. tapi itu bagai aroma terapi di tengah debu para petinggi negri yang doyan korupsi

serta tak punya harga diri

ku ikuti

sampai ia berhenti di tepi dermaga sunyi; Balohan

Hotel Putri Salju, Sabang 2 September 2006

Perahu

senja merangkak sendu

rumah rapuh beratap perahu

saat itu

perahu terapung di atas air

tapi pengayuh berpayung daun

: senandung ombak mengikatnya pada jemari ghaib

serambi dipeluk sunyi, seolah mati.

itu dulu

sekarang

hingar-bingar

banyak orang berpesta

dan kota ini tetap porak-poranda

di atas rumah rapuh

perahu memandangi semuanya

dengan tatapan keruh

Lampulo, 3 September 2006

Amarah

seutas tali terkapar

dihempas ombak yang lapar

hutan bakau tinggal ranting dan belukar

: renyai air mata membasahi pantai yang datar

terumbu karang berlumut

terkubur dalam amarah laut

hujan menetes di hamparan kabut

: awan berarak di atas negri yang carut marut

butir pasir bersuris

jejak ghaib menembus garis

sececah garam membusuk dalam tangis

: perahu bertambatan di ujung kain yang tipis

suara azan pagi

hanya merengkuh ruang sunyi

bagai lelatu yang terapung dalam kobaran api

: desir angin memupus mimpi

Pelabuhan Malahayati, 3 September 2006

Terlelap

ku telan waktu

merayap di antara satu kepenatan

ke dalam kejenuhan

ku rayu ragu

memetik dawai kerinduan

dengan ludah yang tertelan

ku pejamkan mata

menyelinap dalam waktu

menuju celah kesunyian

deru pesawat menyeruak kalbu

yang tergelap adalah berpeluk kasih tanpa kekasih

ku terlelap dalam gelap

Bandara Polonia, Medan 4 September 2006

Gardu

——Tuk Keluarga Abah KH Abd Shomad

di gardu itu

ku kulum garam

dan kaki ini bergoyang

memecah gundukan pasir

saat beratus fatwa dan canda

meluncur deras ke jantung

yang terlelap kantuk

bagi percikan air

berterbangan

tampa sisa

sepanjang jalan

yang berlumut debu

menyapu jejak-jejak kaki

dan batu kali berserakan di tepi

enam tiang masjid yang menjulang

menengok pantai landai

dan suara azan parau

menina bobokan

jamaah jumat

tapi sembilan langkah

dari gardu ini ku temukan lembah

tempat berkumpul para lebah

seperti Ibrahim dan dzurriyah

berputar sekitar Ka’bah

berdzikir mantra thoyyibah

: itulah Ema dan putra-putri Abah

Bendungan Cirebon, 12 September 2006

Rumah Kecil

——tuk Kang Tatang Perceka

lorong sempit. percik api menjalar

merayapi nadi

: sepotong batu penuh arti

dari lorong itu

ku keluar. sebentar.

menuntun kuda kosong

melewati rumah Tuhan yang megah

tapi juga kosong. di depannya, ada kantor pos

yang dibelit ular panjang : antrian rakyat

yang mendesis lapar, berebut BLT.

rumah kecil berselimut bidadari

jemarinya lentik berduri

: kecapi meniupkan nafas ilahi

mata ku berkaca. dua kali menangis

mengiba pada Dalem Cikundul

dan petilasan Raja Bengkulu

yang terkapar di tengah rongsokan

di ujung senja

hujan turun tampa iba

: dinding rumah kecil memantulkan api cinta

Sanggar Perceka Jl Soeroso 58, Cianjur. 14 September 2006


hutan

­ ——untuk Teh Ine herry Dim

serangga kecil bersembunyi

di antara ranting kering

mengintip sang penari

yang tertusuk rasa nyeri

: sebuah kubangan penuh api

berbinar dan mengering

gemerincik air sejenak terpadu

dengan cahaya yang membisu

tanah liat membujur kaku

membatasi realita yang semu

: seonggok dedaunan hijau

membusuk dan menebar bau

seluruh embun berubah air mata

saat asap mulai bicara tentang derita

gergaji yang menari tampa cinta

serta senapan yang membabi-buta

: lembah-lembah tempat limbah dusta

mewabah di mana-mana

Sunan Ambu, STSI Bandung. 1 Desember 2006


Ciburuy

——untuk Kang Nana Munajat

situ Ciburuy laukna hese dipancing

mereka yang terus mencari

di tengah danau yang mengering

ditertawakan desir dedaunan

yang berbaris penuh gelisah

nyeredet hate ningali ngeplak caina

embun pagi berbisik pada lumpur

yang mengendap bersama bebatuan

tercium bau danau yang terluka

berbaur dengan jejak-jejak perahu tua

tuh itu saha nu ngalangkung unggal enjing

rembulan bersembunyi dalam mimpi

menangisi rasa nyeri di endapan hati

mentari enggan bersinar pagi hari

kedunya bercumbu dalam nyeri

nyeredet hate ningali sorot socana

ujung pepohonan berselimut kabut

sebuah danau terlempar dari sujud

perahu tua, jaring dan serpihan dayung

semuanya melagukan siulan bisu

Ciburuy, 3 Desember 2006


Nama Mu

laut

ibarat lumut

menjaring manusia bagai semut

bergumul dengan maut

setelah itu, nama Mu terus disebut

darat

hanya hutan yang melarat

digempur alat-alat berat

lalat-lalat hijau melahap dahsyat

atas nama Mu semua disikat

udara

tercemar napas dosa

dari DPR hingga para ulama

semua berdoa dan berdusta

nama Mu tersimpan di saku celana

yang telah dibuka

laut, darat, udara…laut Mu hanyut.

laut, darat, udara…darat Mu sekarat.

laut, darat, udara…udara Mu ternoda

di laut, di darat, di udara

nama Mu sirna

Dago, 6 Desember 2006


Gerobak Tua

——untuk Doto Miharto

aku mulai jenuh, tiap hari di gerobak tua ini

memulai pagi dengan bersandar di joknya yang rapuh

mataku lelah menjelajah tiap desa yang terlewati

dalam suasana yang sama, seperti juga hari ini

rute-rute terakhirku, hanya janji tentang hidup

padahal roda gerobak itu berderit menggigit kupingku

sesekali, senyumku dibalas orang-orang di tepi jalan

seperti juga mereka, dengan terpaksa ku lambaikan tangan

seperti gerobak, itulah aku

begitu pula seluruh manusia

Jatiwangi, 7 Desember 2006


Usia

——untuk keluargaku

ku baca tanda

usia yang tak muda

tiga puluh empat beranak tiga

ku eja masa

empatbelas tahun berdua

berjuang agar tak ada yang kedua

ku anyam asa

agar tikar tergelar di jiwa

kehangatan rumah tangga

ku berdoa

satukan kami berlima

dalam sajadah cinta

Ciganjur, 8 Desember 06


Di Jatinegara, Kutemukan Dunia

——untuk Mas Irwan

kesabaranku tak bersisa

waktu begitu lambat merayap

di atas bantalan rel kereta tersekat debu

aku membeku di ruang tunggu yang pengap

dindingya bernapas riuh dan peluh

serta batuk berdahak terdengar berat

beban nyawa di pundak derita

kesabaranku tergenggam senja

kepala statsiun meniup kegelisahan

tiang-tiang tua, atap-atap berkarat

dan tatapan angkuh jam yang tak berdetak.

seorang polisi muda dengan ransel dan senjata

berdiri dekat aquarium, seekor ikan merintih

dalam keruh kepedihan, siripnya berdarah.

kesabaranku sudah lenyap

tv terus menayangkan kemesuman yz-me

serta kedangkalan dai yang terpikat birahi

tak menyisakan ruang bagi azan anak jalanan,

zikir tukang asongan, wirid penjaja koran,

dan munajat para gembel yang bersimpuh

di rel kematian dan kawat tajam yang rawan.

ini keterlaluan. tiga jam lebih aku bersabar

berulang kali melihat hp, keluar masuk wc,

berbincang dengan penjaga kios yang rese,

menatap papan reklame yang mencolok merah,

dan lampu yang redup. kereta belum tiba!.

kudekati perempuan tua beralas koran,

tertidur damai. akhirnya, aku temukan dunia.

Statsiun Jatinegara, 8 Desember 2006



[1] . Tragedi tanah longsor di lereng Argopuro Malang Jawa Timur.

[2] . nama-nama desa yang hancur di lereng Argopura

[3] Tragedi kekerasan terhadap dua orang anak, Indah dan Lintang, oleh ibu kandung di Serpong Tanggerang

[4] Tragedi tanah longsor di kampung Gunungrejo Pemalang

[5] . tokoh misterius yang melegenda di Majalengka

[6]. gunung mistis di Majalengka

[7] . air terjun di wilayah Maja, Majalengka Selatan

[8]. Lamnyong adalah nama jembatan

[9] Simpang mesra; sebuah jalan persimpangan

[10] . mekat ranumb:penjual ramuan sirih

[11] masjid breuek : masjid dengan arsitektur kubah seperti tempurung kelapa

[12] Janthao nama sebuah gunung di Aceh

[13] . dari peribahasa “ padam nyala tarik puntung, seorang dikuburkan di tempat ia berada”

1 komentar:

Oliver mengatakan...

Pusinya keren - keren sob, terimakasih sudah berbagi..
informasi kesehatan dan kecantikan