Terompet
lengkingan terompet bertopi
lambat-lambat menguak sunyi
gerimis mengiris mimpi
seolah takkan ada pagi hari
saat masa berpindah kala
air mata bercampur lumpur
mengguyur lereng Argopuro[1]
dan duka semakin membahana
Kemiri menyerpih nyeri....
Pakis teriris perih.....
Suci dinodai api....
Panti menuai mati....
Glagahwero[2] berpeluk sepi
semua warga menoreh doa
di gumpalan awan yang berduka
semua mata menitik luka
pada langit yang terus murka
Januari 2006.
Serpong
kala terlentang
dalam himpitan papa
terkapar kelam
wajah bermuram durja
merengut dua nyawa
indah nian lintang [3]
terdekap dalam benderang
melengkung penuh arti
tapi sungguh malang
srigala berbulu orang tua
jatuhlah dua merpati
dalam kobaran api
satu persatu memuai
menetesi rasa nyeri
yang membusuk dalam jerami
hanya bayi...
mengapa dihabisi?
Januari 2006.
Sekarat
“bruukk”...
dan kampung Gunungrejo[4] lenyap
ku baca itu di
KOMPAS
amanat hati nurani rakyat
ku lukis itu di
KANVAS
hati rakyat tersayat sekarat
Awal 2006.
Mata
mataku tergerak
tuk jelajahi seluruh sudut koran
ternyata tak hanya manusia
kambing putih pun jadi korban
mataku terpejam
ceceran hitam terus membayang
penolakan makin keras
impor beras makin deras
mataku tengadah
langit lapuk hendak mengamuk
jiwa Hun Sen yang anti kritik
kaparkan si tua di kolong jembatan
mataku tersentak
saat ilalang memerahkan awan
manuver lurah di Depok
niat sang guru jauh berbelok
Jatiwangi, Februari 2006
Kota Sepi
kota sepi
saat kau cari
yang ada hanya belati
menguliti isi kepala dan nurani
kota sunyi
saat menyendiri
yang kau temui hanya api
prasangka dan dengki
siapa punya kunci
masuklah ke kota ini
teruslah melangkah
dalam kelam sejarahnya
coba nyalakan kemenyan
panggil arwah Nyi Rambut Kasih[5]
berceritalah berdua di gunung Tempuh[6]
cerita sama tentang sesuatu yang tak pasti
Jatiwangi, 4 april 2006.
Curug Sawer
apakah cukup dengan mimpi
wangi rerumputan di Curug Sawer[7]
bisa tercium dari beranda istana
yang dipenuhi sampah
apakah mimpi setetes air
yang terjun dari Curug Sawer
dapat merubah sampah jadi wewangian
di beranda istana yang penuh rerumputan
apakah mimpi kehidupan
dapat memindahkan istana berbau sampah
dekat Curug Sawer yang penuh rumput
agar penghuni kota ini kembali punya harga diri
Jatiwangi, 8 april 2006.
Sang Pengembara
——tuk Habib Nasir Al-Katiri
pengembara berkulit legam
melejangkan panah derita
dari mata yang membiru
lekang diiris sembilu
terompah tuanya bergesek
dengan alang-alang berminyak
bagai jemari keriput memetik dawai
terdengar gemerisik yang parau
pori tangannya terpupuri dedak
menyimpan api yang siap meledak
ibarat mara yang hinggap di ranting
terbakar sudah seluruh dedaunan
langkahnya bersesapan di pematang
berbau kemenyan yang membeku
ia basuh sekam tuk jadi manikam
dengan mantra berpeluh doa
Panjalu Ciamis, 27 Mei 2006
Jalan Sang Raja
——untuk Evi Idawati
di jalan ini
jejak keabadian berhenti bergetar
saat Panembahan Senapati lelaku tapa brata
tanpa kata mengendalikan jiwa
berbeda dengan ratusan ribu syair tentang agama
tetap saja tidak meresap dalam nurani cinta
di jalan ini
gurat kesedihan terputus dalam remang
saat nafas subuh mengoyak-ngoyak mimpi
bumi bergerak membelah kesunyian
tidak seperti pagi yang selalu menyapa ceria
jasad-jasad kecil terkapar dalam ketakutan
di jalan ini
untaian dzikir menembus gerimis yang letih
jemari lemah mengukir batu nisan
dengan sisa reruntuhan
hingga malam berselimut dingin yang memucat
kenangan yang menyesakkan terus menggumpal
sepanjang jalan telah menjadi pusara
di jalan ini
malam dan kegelapan tidak cepat berlalu
setiap waktu cahaya tertutup asap ranting sembilu
posko derita berjejer dengan tumpukan batu bata
semua perabotan dan perut kelaparan rata dengan tanah
menahan diri dalam kehampaan dan kesedihan
di jalan ini
Tuhan bersembunyi di bawah singasana luka
dengan cahaya Nya cinta dan kasih sayang tetap ada
dari bilik pengungsian kerelaan melelehkan ketakaburan
membiarkan matahari berkelana di malam hari
agar tersenyum di pagi hari
dari jalan ini
sebait ayat terbaca
seluruh kehidupan manusia menjelma nyata:
ada cahaya kemanusiaan yang bersinar abadi
ada bencana kebiadaban yang mengusik nurani
Imogiri, 14 Juni 2006
Air Mata
dalam percikan api
mata pengungsi menyala
bertumpu pada lumpur derita
semayam di antara kembang dan kemenyan
sebutir debu berseru:
“ akulah nafas kehidupan,
akulah angin kegelisahan,
akulah ruh kemanusiaan ”
: debu membeku dalam kelopak mata
yang berhenti bergerak
di pucuk awan merapi
bergayut cemas dan kabut gelap
angin meronta bersautan bunyi kentongan
mencairkan embun yang tak dingin
semua hati berbisik:
“ Gusti, ampuni diri,
kembalikan nurani,
ke mana hamba pergi ?”
: awan panas berarak melewati alis mata
yang mengerang dalam kesunyian
di atas rerumputan kering
beribu jasad rebah dalam selimut angin malam
menyerah pada sabda alam saat fajar mengeluh
pada banyangan hitam yang menina bobokan harapan
mulut-mulut meringis:
“ mengapa garam, gula, asem,
merica, cabe….semua terasa pahit ?”
: keris pusaka menusuk bola mata
menoreh luka dalam malam yang semakin gulita
Imogiri, 14 Juni 2006
Termas
bergumam mantra-mantra kiai
tubuh renta itu bergerak kian kemari
bagai ombak yang menunggangi gunung api
terapung dalam nyeri :
kudengar dzikirnya bagai serpihan batu
dari tebing curam sepanjang jalan berliku
antara Ponorogo Pacitan yang membeku
dua mata beradu pandang
tatapannya tajam menghujam
bagai salju jatuh di punggung pemecah kerikil
tergolek dalam senyap :
kulihat bajunya ditenun dari serat api
yang ia petik dari gugusan zarah
sejarah panjang pesantren Termas
setumpuk abu kegalauan
menyedak kerongkongan yang parau
kala azan berkumandang airmatanya terjatuh
tubuh renta itu bersujud pada kesunyiaan :
kurasakan kepedihan dari gemetar nadinya
berdenyutkan derita dalam serpihan kaca
dia amat terluka saat agama kehilangan makna
tiba-tiba ia berdiri
berteriak, “jangan kau lukai hati kiai dan para santri”
mulutnya terus mericau dengan logat jawa kuna
mengeja nama para ulama dan lafadz pasalatan :
irama azan dan nasehat takwa sang khotib
sirna di telinga yang menyimak dengan khusyu
syair Mbah Dim
dan wirid pena Syeikh Mahfudz at-Tirmisi
Termas, 30 Juni 2006
Air Mata Tuhan
cahaya Mu terlalu silau
bagi rahasia kehidupan ini
pusaran air
jilatan api
semburan lumpur
dan asap membumbung
menjelma puting beliung
mata Mu bersimbah air mata
mata air untuk air mata kepedihan
mengalir, melingkar, meliar
mengancam, menelan semua
di sebuah sudut neraka
ada tetes air mata yang tersisa
air mata cinta
Jogja, 1 Juli 2006
Genta
genta kematian
berbunyi bergantian
tsunami
mengguyur nyeri
di bumi serambi suci
gempa bumi
mengoyak mimpi
saat fajar mengerang kota revolusi
lumpur api
mengubur hati
hingga muara pelabuhan perak
kapan genta itu
berhenti berbunyi
sebelum negri ini
berubah sunyi
mati
Kebumen, 18 Juli
Prahara
jejak mungil anak ku
lenyap ditelan lidah tsunami
: jalan Pangandaran tertimbun anai-anai
riuh pengunjung di pasir putih
dipukul ombak jauh ke tepi
: jejak nafas retak membayang di atas bara
celoteh penjaja souvenir
terkayuh ke tengah biduk prahara
: sekejap hangus bersuris asap larva
ombak purus meruah perkampungan
menjala para balita dan si tua renta
: perahu bertambatan di ranting pepohonan
Pangandaran, 20 Juli 2006
Ku Tanya
——untuk Pak Endo Suwanda
ku tanya Kiai
apa Demokrasi
ia jawab : Syuro
ku tanya Kiai
tentang Seni
ia bilang : Syuuuur
ku tanya Kiai
mau tidak uang korupsi
ia berbisik : Serious ?
Hotel Padjadjaran Tasik, 26 Juli 2006
Jenuh
di Aceh
paruh lusuh
tarian Seudati berkalang mati
di Bali
tubuh luluh
telapak tangan berhitung jejak
di Jakarta
buruh rusuh
tekad baja bersapu ingus
di Jogja
subuh runtuh
tempayan berkurap buluh
di kamar
peluh kumuh
tengkurap ku berpeluk jenuh
Cipasung, 26 Juli 2006
Jumat
sejenak,
puji ku lantunkan saat tubuh lelah
mengenang Sang Ummy yang terus bergerak
bagai untaian tasbih menghitung detak
jangan seperti keledai !
ia bawa ilmu dalam karung sembilu
bergegaslah,
sebelum api memercik nafas kematian
dan tembikar kehidupan pecah satu persatu
genta Jumat
memanggil para pencinta Ilahi
tuk dzikir menyalakan nafas
bangun dari penjara hasrat dunia
tetaplah,
dengan tuah Nya
kau berkhalwat di pepohonan bertangkai embun
agar setiap permohonan, dijawab Nya :
Amin.
Jatiwangi, malam Jumat 27 Juli 2006
61
enam puluh satu
nurani bangsa membeku
merdeka !
: sang saka terkulai di punggung derita
enam puluh satu
hati pemimpin membatu
merdeka !
: punggung buruh ditembus peluru
enam puluh satu
bibir rakyat membisu
merdeka !
: pada bangsa lain, punggung kita membungkuk
enam puluh satu
wajah pertiwi memilu
merdeka !
: jiwa gemetar memandang punggungnya
Jatiwangi, 17 Agustus 2006
Pemimpin Bangsa
Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat
Pak Harto Penyambung Lintah Darat
Habibie Penyambung Ludah Barat
Gus Dur Penyambung Luka Umat
Mbak Mega Penyambung Luang Sesaat
SBY Penyambung Ludruk Sekarat
Jadi,
Siapa yang memotong Urat Nadi Rakyat?
Waled, 16 Agustus 2006
merah putih
mata ini melunyah pada
liur lilin yang memerah di atas kertas
putih. temaram tersibak lelatu
yang menari di pucat wajahku.
meleleh.
lesehan beralas koran. larut dalam kabut
penuh lumut. lembayung melilit
sang sangka berwarna merah jingga.
mawar putih di genggamanku.
merekah.
malam larut. embun menitik dari ujung kain
lusuh. berpuluh kali polusi membedaki serat
yang makin sesak. demi negri ini, ia terus
melambai dan berteriak lirih:
Merdeka!
Balai Kota Cirebon, 15 Agustus 2006
Dzikir Ku di Banten
karavan duapuluh tiga bis beriringan menuju kuburan raja-raja ; jejak sejarah membayang di bawah Menara tua
bagai belalang, jemari peminta-minta merogoh iba. saat ribuan peziarah menyelimuti nisan-nisan tua: recehan bertaburan di wajah-wajah kumuh dan telapak penjaga makam yang angkuh
lapak-lapak tua berselimut jajanan dan souvenir para pencinta wali: emping, sawo, kopeah, minyak wangi, tasbih, Quran, buku-buku doa dan air mantera yang dijajakan dengan harga setengah dusta
entah mengejar apa. semua berlari. tiba-tiba, detak terhenti, retina mata ditusuk adegan nyeri. “kereta!”, suara setan itu menjungkalkan dua dara dan seorang anak kecil yang tertindih tubuh ibunya. Mereka terlentang di tengah rel kematian.
aku gemgam tangan mereka menuju masjid
ar-Rahman. bersujud dengan ribuan lebah yang terus terbang dari satu masjid ke jantung Ilahi; tiap malam Rabu. dan malam ini, di jemari ghaib Nya--- aku, istri, dua anakku, jamaah nariyah keraton kasepuhan Cirebon dan para inohong Banten---berdzikir.
Pandeglang, 26 Agustus 2006
al-Ahad
di serambi ini, seraut wajah terhenti. bagai titik berserakan dan azan memeluk mereka. karena tsunami, menara kota ini berurai air mata saat bayangan putih tapaknya lari; meninggalkan jejak
dan berduka.
ya, jelang senja aku berdiri. sama seperti dua tahun silam, duaratus tigapuluh ribu nyawa berlari ke garis finis dan masjid Baiturrahman terisi kemuraman
; ini hari Ahad !
jemari Nya melipat.
seperti penjual “sate matang” di Peunayong, bumi berderak karena hentakan botol kecap; kepulan asap beraroma, sepasang kekasih bercengkrama, mulut lahap dan seorang yang menengadahkan secarik kertas lusuh, menelan ludah.
aku menguap bagai ombak. gelisah. bukan karena desing di telinga saat melayang di gugusan pulau Sumatera, atau gumpalan rindu yang tersekat di tenggorokan ketika berpisah dengan anak-anakku di bandara; ada masa depan yang enggan dengan perubahan dan pengorbanan.
seorang dengan wajah masam menelusuri pemakaman sunyi. ranting kering dan serpihan perahu dikumpulkanya menjadi kayu bakar dan
memasak tanah kuburan yang masih merah; mereka tertawa dalam derita.
Peurada Aceh, 27 Agustus 2008
Jejak Tsunami
——untuk marzuki rais
dua tahun berlalu
aku baru berdiri di atas krueng Lamnyong[8]
sudut-sudut gampong hanyalah bayangan senja
dari gemuruh ombak
dan jejak !
ku berhenti. sejenak.
di puing-puing penjara keudah
genangan air mata meluas hingga batas simpang mesra[9]. di puncaknya, ada pena yang menggoreskan
suratan darah
dan luka !
hanya beberapa menit
lautan menyambangi serambi suci ini. mengoyak.
alis matanya yang keras menusuk butiran debu
sementara menara Baiturrahman memandang
dengan pilu, bagai seruas tebu
berulat
dan pahit !
Aceh, 27 agustus 2006
Sekarang
gerimis membasuh belukar: basah
dengan ingatan kelam—isu-isu, memar-memar, dan pedang
bermata dua, pada awan putih
ada merah jingga;
damai
datanglah ke kota ini. sekarang!.
nyak-nyak mekat ranumb[10] menawarkan:
buah pinang, kapur, sirih, gambe
dan pesona Malahayati
penjual air tebu tak perlu membuang ampas, biarkan
berserakan; tanda sebuah kebebasan
rumah-rumah bertopi putih bagai gigi yang
mengunyah ketakutan; dari anjing buta
yang begitu lama menyalak
dan tahinya menjadi anyir darah
sekarang, masjid breuek [11]tak perlu murung
gunung Janthao[12] jadi saksi bau mesiu
berubah embun di ujung ubun-ubun:
dan Tuhan tak perlu mengancungan rencong Nya
Banda Aceh, 27 Agustus 2006
Nyiur
biduk prahara
berserakan sepanjang pantai
: perahu nelayan berkapan pasir
nyiur nipah
bernapas dengan angin laut
: jasad kaku tergantung di ujung kuku
syair derita
bergema hingga ujung dunia
: lentera nyala tarik puntung[13]
Losmen Riza, Sigli Aceh, 28 Agustus 2006
Senyuman
bayangan fajar menjulur di jalan yang berliku saat embun masih membeku di atas tanah yang tertutup daun dan tiga ekor lembu bercengkrama dengan reremputan. di tempat ini tak mungkin ada salju :
tapi senyuman anak-anak sekolah bertelanjang kaki bagai sungai es di tengah tumpukan bara
yang tak hangus
wajah-wajah berminyak. debu yang melekat. sepatu berlumut dan kerikil yang membalut jalanan menanjak; keringat memacu mereka merobek mimpi yang pekat
di atas sana
bukit terjal setiap hari mengawasi bibir-bibir mengeja air mata. bangku rapuh. atap sekolah yang melepuh dan dua WC yang dijejali kotoran tigaratus manusia. ya, manusia.
sekali lagi, manusia
ini bukan cermin retak. aku tidak menggertak. aku lihat keceriaan mereka saat menyanyi sepanjang hari. aku hanya mengajak semua tersenyum; senyum nyeri bagi yang terus korupsi. senyum peduli bagi yang punya nurani ! itu saja.
MAN Tangse, Pidie. 30 Agustus 2006
Burung Gagak
membosankan. sepanjang Banda menuju Lhokseumawe. kepalaku hampir pecah, karena mata tersilap ratusan papan nama dan spanduk bergambar calon penguasa.
tapi, ini hanya perjalanan sore---melewati Saree, Sigli, Beureunuen, Matang baru Lhokseumawe--- semua ada batasnya, juga dusta.
berulang kali. burung hitam itu merendah seolah mau hinggap di pohon pinang. bagai awan hitam, suaranya adalah pertanda kematian bagi orang miskin yang kelaparan.
lumut laut membungkam batu karang
purnama disoraki serigala liar
fajar terbangun bukan karena kokokan ayam
perlahan. dedaunan bertuliskan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian dikipaskan dan dirobek gagak yang licik serta jahat: disuapkan pada mulut-mulut bau yang sobek karena belati dan janji.
pagi ini
kopi Gayo masih terasa pahit
Wisma Lilawangsa Lhokseumawe, 31 Agustus 2006
Hizib
hizib bahri
tak mampu menjahit cadar lautan
yang terkelupas
di atas altar
ribuan mantra bergetar
tak kuasa menahan gerbang
yang terus berputar
asma Ilahi
mengalun sunyi dari ribuan kuburan dangkal
korban Tsunami dan tiang-tiang tua meunasah
yang retak menanti belah
kapal Nabi Nuh karam di tengah kota. ribuan mata terengah dilamun ombak, akhirnya karam juga.
Sulaiman dan bala bantuan membawa matahari, melewati kerumunan semut yang tertimbun sampah tapi hanya menggeliat dan kembali mengayam mimpi
hai. tanpa darah merah, semua akan pecah. di bibir negeri, bangkitlah, sendiri, dan saat ini juga!
Uleelheue, 31 Agustus 2006
ku ikuti
ku ikuti
nenek renta bermata buta
menyeret langkahnya menelusuri jalan-jalan sempit
sepanjang pantai yang mengalungi Sabang; di tapal ini
ku hitung tetes air mata Pertiwi.
tongkatnya adalah petir
yang menyambar iba pada siapapun yang masih punya nurani. dengan susah payah ia turuni tanjakan semen ; dari tempat ini Indonesia memulai “I” nya
jengkal demi jengkal, ia melangkah dalam gelisah ; seperti bangsa ini, ia terluka dan tak berdaya.
ku ikuti
jejak dari bau sampah yang menyengat dari bajunya yang compang-camping. tapi itu bagai aroma terapi di tengah debu para petinggi negri yang doyan korupsi
serta tak punya harga diri
ku ikuti
sampai ia berhenti di tepi dermaga sunyi; Balohan
Hotel Putri Salju, Sabang 2 September 2006
Perahu
senja merangkak sendu
rumah rapuh beratap perahu
saat itu
perahu terapung di atas air
tapi pengayuh berpayung daun
: senandung ombak mengikatnya pada jemari ghaib
serambi dipeluk sunyi, seolah mati.
itu dulu
sekarang
hingar-bingar
banyak orang berpesta
dan kota ini tetap porak-poranda
di atas rumah rapuh
perahu memandangi semuanya
dengan tatapan keruh
Lampulo, 3 September 2006
Amarah
seutas tali terkapar
dihempas ombak yang lapar
hutan bakau tinggal ranting dan belukar
: renyai air mata membasahi pantai yang datar
terumbu karang berlumut
terkubur dalam amarah laut
hujan menetes di hamparan kabut
: awan berarak di atas negri yang carut marut
butir pasir bersuris
jejak ghaib menembus garis
sececah garam membusuk dalam tangis
: perahu bertambatan di ujung kain yang tipis
suara azan pagi
hanya merengkuh ruang sunyi
bagai lelatu yang terapung dalam kobaran api
: desir angin memupus mimpi
Pelabuhan Malahayati, 3 September 2006
Terlelap
ku telan waktu
merayap di antara satu kepenatan
ke dalam kejenuhan
ku rayu ragu
memetik dawai kerinduan
dengan ludah yang tertelan
ku pejamkan mata
menyelinap dalam waktu
menuju celah kesunyian
deru pesawat menyeruak kalbu
“ yang tergelap adalah berpeluk kasih tanpa kekasih “
ku terlelap dalam gelap
Bandara Polonia, Medan 4 September 2006
Gardu
——Tuk Keluarga Abah KH Abd Shomad
di gardu itu
ku kulum garam
dan kaki ini bergoyang
memecah gundukan pasir
saat beratus fatwa dan canda
meluncur deras ke jantung
yang terlelap kantuk
bagi percikan air
berterbangan
tampa sisa
sepanjang jalan
yang berlumut debu
menyapu jejak-jejak kaki
dan batu kali berserakan di tepi
enam tiang masjid yang menjulang
menengok pantai landai
dan suara azan parau
menina bobokan
jamaah jumat
tapi sembilan langkah
dari gardu ini ku temukan lembah
tempat berkumpul para lebah
seperti Ibrahim dan dzurriyah
berputar sekitar Ka’bah
berdzikir mantra thoyyibah
: itulah Ema dan putra-putri Abah
Bendungan Cirebon, 12 September 2006
Rumah Kecil
——tuk Kang Tatang Perceka
lorong sempit. percik api menjalar
merayapi nadi
: sepotong batu penuh arti
dari lorong itu
ku keluar. sebentar.
menuntun kuda kosong
melewati rumah Tuhan yang megah
tapi juga kosong. di depannya, ada kantor pos
yang dibelit ular panjang : antrian rakyat
yang mendesis lapar, berebut BLT.
rumah kecil berselimut bidadari
jemarinya lentik berduri
: kecapi meniupkan nafas ilahi
mata ku berkaca. dua kali menangis
mengiba pada Dalem Cikundul
dan petilasan Raja Bengkulu
yang terkapar di tengah rongsokan
di ujung senja
hujan turun tampa iba
: dinding rumah kecil memantulkan api cinta
Sanggar Perceka Jl Soeroso 58, Cianjur. 14 September 2006
hutan
——untuk Teh Ine herry Dim
serangga kecil bersembunyi
di antara ranting kering
mengintip sang penari
yang tertusuk rasa nyeri
: sebuah kubangan penuh api
berbinar dan mengering
gemerincik air sejenak terpadu
dengan cahaya yang membisu
tanah liat membujur kaku
membatasi realita yang semu
: seonggok dedaunan hijau
membusuk dan menebar bau
seluruh embun berubah air mata
saat asap mulai bicara tentang derita
gergaji yang menari tampa cinta
serta senapan yang membabi-buta
: lembah-lembah tempat limbah dusta
mewabah di mana-mana
Sunan Ambu, STSI Bandung. 1 Desember 2006
Ciburuy
——untuk Kang Nana Munajat
“situ Ciburuy laukna hese dipancing”
mereka yang terus mencari
di tengah danau yang mengering
ditertawakan desir dedaunan
yang berbaris penuh gelisah
“nyeredet hate ningali ngeplak caina”
embun pagi berbisik pada lumpur
yang mengendap bersama bebatuan
tercium bau danau yang terluka
berbaur dengan jejak-jejak perahu tua
“ tuh itu saha nu ngalangkung unggal enjing”
rembulan bersembunyi dalam mimpi
menangisi rasa nyeri di endapan hati
mentari enggan bersinar pagi hari
kedunya bercumbu dalam nyeri
“nyeredet hate ningali sorot socana”
ujung pepohonan berselimut kabut
sebuah danau terlempar dari sujud
perahu tua, jaring dan serpihan dayung
semuanya melagukan siulan bisu
Ciburuy, 3 Desember 2006
Nama Mu
laut
ibarat lumut
menjaring manusia bagai semut
bergumul dengan maut
setelah itu, nama Mu terus disebut
darat
hanya hutan yang melarat
digempur alat-alat berat
lalat-lalat hijau melahap dahsyat
atas nama Mu semua disikat
udara
tercemar napas dosa
dari DPR hingga para ulama
semua berdoa dan berdusta
nama Mu tersimpan di saku celana
yang telah dibuka
laut, darat, udara…laut Mu hanyut.
laut, darat, udara…darat Mu sekarat.
laut, darat, udara…udara Mu ternoda
di laut, di darat, di udara
nama Mu sirna
Dago, 6 Desember 2006
Gerobak Tua
——untuk Doto Miharto
aku mulai jenuh, tiap hari di gerobak tua ini
memulai pagi dengan bersandar di joknya yang rapuh
mataku lelah menjelajah tiap desa yang terlewati
dalam suasana yang sama, seperti juga hari ini
rute-rute terakhirku, hanya janji tentang hidup
padahal roda gerobak itu berderit menggigit kupingku
sesekali, senyumku dibalas orang-orang di tepi jalan
seperti juga mereka, dengan terpaksa ku lambaikan tangan
seperti gerobak, itulah aku
begitu pula seluruh manusia
Jatiwangi, 7 Desember 2006
Usia
——untuk keluargaku
ku baca tanda
usia yang tak muda
tiga puluh empat beranak tiga
ku eja masa
empatbelas tahun berdua
berjuang agar tak ada yang kedua
ku anyam asa
agar tikar tergelar di jiwa
kehangatan rumah tangga
ku berdoa
satukan kami berlima
dalam sajadah cinta
Ciganjur, 8 Desember 06
Di Jatinegara, Kutemukan Dunia
——untuk Mas Irwan
kesabaranku tak bersisa
waktu begitu lambat merayap
di atas bantalan rel kereta tersekat debu
aku membeku di ruang tunggu yang pengap
dindingya bernapas riuh dan peluh
serta batuk berdahak terdengar berat
beban nyawa di pundak derita
kesabaranku tergenggam senja
kepala statsiun meniup kegelisahan
tiang-tiang tua, atap-atap berkarat
dan tatapan angkuh jam yang tak berdetak.
seorang polisi muda dengan ransel dan senjata
berdiri dekat aquarium, seekor ikan merintih
dalam keruh kepedihan, siripnya berdarah.
kesabaranku sudah lenyap
tv terus menayangkan kemesuman yz-me
serta kedangkalan dai yang terpikat birahi
tak menyisakan ruang bagi azan anak jalanan,
zikir tukang asongan, wirid penjaja koran,
dan munajat para gembel yang bersimpuh
di rel kematian dan kawat tajam yang rawan.
ini keterlaluan. tiga jam lebih aku bersabar
berulang kali melihat hp, keluar masuk wc,
berbincang dengan penjaga kios yang rese,
menatap papan reklame yang mencolok merah,
dan lampu yang redup. kereta belum tiba!.
kudekati perempuan tua beralas koran,
tertidur damai. akhirnya, aku temukan dunia.
Statsiun Jatinegara, 8 Desember 2006
[1] . Tragedi tanah longsor di lereng Argopuro Malang Jawa Timur.
[2] . nama-nama desa yang hancur di lereng Argopura
[3] Tragedi kekerasan terhadap dua orang anak, Indah dan Lintang, oleh ibu kandung di Serpong Tanggerang
[4] Tragedi tanah longsor di kampung Gunungrejo Pemalang
[5] . tokoh misterius yang melegenda di Majalengka
[6]. gunung mistis di Majalengka
[7] . air terjun di wilayah Maja, Majalengka Selatan
[8]. Lamnyong adalah nama jembatan
[9] Simpang mesra; sebuah jalan persimpangan
[10] . mekat ranumb:penjual ramuan sirih
[11] masjid breuek : masjid dengan arsitektur kubah seperti tempurung kelapa
[12] Janthao nama sebuah gunung di Aceh
1 komentar:
Pusinya keren - keren sob, terimakasih sudah berbagi..
informasi kesehatan dan kecantikan
Posting Komentar