Minggu, 14 September 2008

Komentar Mas Arief Hakim


Pengembara dalam Tubir Kegelisahan

*) Puisi-puisi “Cinta” KH. Maman Imanulhaq Faqieh

M. Arief Hakim

KH. Maman Imanulhaq Faqieh (selanjutnya disebut Kang Maman) adalah suatu “fenomena”, khususnya untuk konteks Majalengka. Sebagai kiai muda yang mengasuh sebuah pesantren, dia sering menjalin komunikasi dengan kalangan LSM, media massa, seniman, sastrawan, dan budayawan. Lingkar pergaulannya sangat luas dan beragam. Pesantrennya yang terletak di Jatiwangi juga cukup sering menyelenggarakan momen-momen budaya, seni, dan sastra.

Selain itu, Kang Maman termasuk kiai yang bervisi pluralis dan bersahabat dengan para pemuka agama di luar Islam. Beberapa komunitas muslim fundamentalis bahkan menyebutnya sebagai sosok yang liberal dan “dekat” dengan Amerika. Suatu cap yang menurut saya agak berlebihan dan tidak masuk akal. Seorang kiai dekat dengan komunitas seni, budaya, dan bervisi pluralis, masih merupakan hal yang langka atau bahkan “aneh” untuk konteks Majalengka.

Sejauh yang saya tahu, hingga sekarang, sosok pesantren di Indonesia mayoritas masih merasa asing dengan fenomena seni, sastra, dan budaya. Mereka menganggap bahwa seni, sastra, dan budaya masih merupakan barang “asing” dan berada di “luar” Islam. Seni, sastra, dan budaya untuk itu layak dijauhi.

Pesantren Al-Mizan Ciborelang, Jatiwangi, yang diasuh Kang Maman merupakan contoh pesantren langka yang punya apresiasi seni, sastra, dan budaya. Untuk itu, ketika ia menyodorkan kumpulan puisinya yang akan diterbitkan menjadi buku, saya tidak (begitu) terkejut. “Ku Pilih Sepi”, judul kumpulan puisinya, tampaknya bisa mengundang banyak tafsir. Kang Maman dan pesantrennya, misalnya, memang berada di wilayah yang “sepi”—khususnya untuk konteks Majalengka — karena dekat dengan kantung LSM, media massa, seniman, sastrawan, dan budayawan. Sepi di sini bukan dalam arti fisikal, melainkan psikologis.

Sebagai seorang kiai di tengah banyak pesantren dan komunitas fundamentalis yang cukup solid di Majalengka, Kang Maman juga “sepi” (lagi-lagi untuk konteks Majalengka) karena bervisi pluralis dan semi liberal. Kosakata “semi liberal” ini murni merupakan otak-atik dari diri saya sendiri, setidaknya karena dua alasan. Pertama, Maman masih mengakui dan memosisikan teks suci (Al-Quran dan Hadis) sebagai “pusat” nilai. Seorang yang benar-benar liberal biasanya menganggap rasio dan hati sebagai “pusat” dan menempatkan semua semesta kesadaran dan semesta nilai (termasuk teks suci) pada “meja” yang sama.

Kedua, di pesantren yang diasuhnya, Kang Maman masih mentradisikan ritual-ritual khas NU seperti zikir, istighosah, tahlil, barzanji, dan semacamnya. Potret keliberalan Maman, kalau memang bisa disebut liberal, mungkin “seirama” dengan keliberalan Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Masdar F Mas’udi, dan beberapa lagi yang lain, bukan sebagaimana kaum liberal generasi baru yang jauh lebih radikal seperti Ulil Abshar dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya yang tidak sekadar menyebarkan paham pluralisme, tetapi juga sekularisme.

Komunitas Liberal generasi baru itu adalah penganut paham rasionalisme. Bagi mereka, akal punya kedudukan lebih tinggi daripada wahyu dan kitab suci mana pun. Kaum liberal generasi baru ini, tampaknya sangat rasional, sehingga tidak bisa menghayati lagi ritual-ritual agama (Islam) yang formal sebagaimana masih dilakukan oleh Kang Maman dan pesantrennya.

***

Kang Maman adalah bagian dari sekian banyak penulis-penulis puisi (penyair) yang—karena satu atau lain hal—tidak (atau belum?) mempublikasikan puisinya di media massa. Tetapi, bukan berarti puisinya kurang “berkualitas” dibandingkan dengan penyair-penyair lainnya yang sudah punya jam terbang tinggi dan acapkali nampang di media massa dan forum-forum sastra yang bergengsi.

Dalam batas-batas tertentu, komunitas sastrawan yang telah mapan dan juga media massa punya kekuatan untuk mentahbiskan seseorang sebagai penyair yang andal; tetapi, sosok-sosok seperti Kang Maman yang secara diam-diam membuat puisi dalam “kesunyian” (Ku Pilih Sepi?) kadang karyanya tidak bisa diremehkan dan dipandang sebelah mata.

Bagi sosok-sosok penyair seperti Kang Maman, yang penting adalah membentang kreatifitas dan berkarya tanpa henti, bukan mengejar “pengakuan” dari mana pun, khususnya dari aparat “pendefinisi” dan rejim “kebenaran” (para sastrawan mapan dan media massa?). Adalah hal yang niscaya untuk merayakan nilai-nilai dan karya tanpa harus mengaitkan dan mematut-matutkan diri dengan rezim yang mapan dan establish (baca: para sastrawan mapan, forum-forum sastra yang “elitis”, dan media massa).

Para penyair “bawah tanah” yang tidak terekspos oleh (terutama) media massa kadang perlu membongkar kekuatan-kekuatan mapan yang sok punya otoritas dan hegemonik. Atau lebih bagus lagi kadang perlu cuek dan (ohoi!) mempersetankannya. Merayakan pluralisme radikal dalam konteks karya sastra—khususnya puisi—adalah hal yang niscaya dan perlu.

***

Antologi puisi Kang Maman yang diberi judul “Ku Pilih Sepi” dan berisi kurang lebih 80 puisi ini merupakan kegelisahan sang penulis untuk mepertanyakan makna, nilai, dan kehidupan. Lebih spesifik lagi, dalam karyanya ini, Kang Maman mencoba menggugat diri sendiri, orang lain, serta realitas sosial dan kebudayaan. Hakikat kehidupan adalah bergerak dan dinamis, bukan statis, membeku, dan dogmatis. Dalam antologinya ini, Kang Maman tampak sebagai penyair yang gelisah dan terus mencari.

Mungkin karena Kang Maman adalah sosok kiai yang tiap hari bergelut dengan wacana Islam (dia adalah seorang dai yang cukup laris), dalam puisinya ini Kang Maman sering memakai kosakata yang berasal dari khazanah Islam seperti, antara lain “alhamdulillah”, “dzikir”, “dzuha”, “tasbih”, “sujud”, “masjid”, “wali”, “sajadah”, “subuh”, “sholawat”, “isti’adzah”, “audzubillah”, “tarhim”, “azan”, “ya’qub”, “yusuf”, “rabi’ah”, “nuzul al-quran”, “qurban”, “magrib”, “Allah”, “mujahid”, “hafidz”, dan “qori”.

Sebagian puisi-puisi Kang Maman, sesuai wilayah yang tiap hari digelutinya, menggemakan apa yang mungkin bisa disebut sebagai kegelisahan religius. Dia kadang menggugat keberadaan dirinya, tetapi juga menguggat kehidupan dan realitas sosial secara lebih luas.

Dalam puisi “Dzikir”, Kang Maman menulis, …saat senja tiba,/kurenda mantra/dalam untaian tasbih/larut bersama derita/ku terpejam/ sepanjang sujud malam/khusyuk menangisi cahaya/yang redup dalam kebutaanku. Atau dalam puisi “Bias” yang diperuntukkan bagi D Zawawi Imron, yang berbunyi, …dengan mata nyalang/ku tertusuk ilalang/berkalang tulang/ nasib malang. Kosakata “tertusuk ilalang” (yang juga pernah dijadikan judul film Garin Nugroho “Bulang Tertusuk Ilalang”) memang bisa diidentikkan dengan Zawawi Imron, penyair “senior” dari Madura.

Kemudian, lewat puisi “Isti’adzah”, Kang Maman mencoba menggugat dirinya yang juga berimplikasi pada realitas sosial. Simak bait-baitnya, ‘audzubillah/ku berlindung pada Mu, dari…/kekejaman tak bernurani/kepongahan yang penuh dengki/kezaliman orang yang tak tahu diri/serta rekadaya manusia yang merasa takkan mati/ku memohon/tenggelamkan keangkuhan firaun/yang bersemayam dalam jiwa/lumatkan kebodohan namrudz/yang menutupi hamba/ porak-porandakan kerakusan tsamud/yang membakar nurani/seperti adam yang tersungkur dalam jemari Mu:/aku telah zalim tapi Engkau tak lalim untuk/membiarkan ku.

Puisi-puisi dalam antologi “Ku Pilih Sepi” ini dibuat oleh Kang Maman dalam rentang tahun 2002-2005, suatu masa ketika Indonesia masih terus dirundung duka dan nestapa yang tiada terkira. Bangsa yang diterpa krisis multi dimensi. Bangsa yang sakit “parah”. …kepedihan pertiwi yang kehilangan harga diri, tulis Kang Maman dalam puisi “Mata”. Dia juga menulis bait-bait, …ke puncak tampomas yang terkulai lemas/diperkosa juragan pasir bergigi emas (puisi “Pasir Sumedang”). Bait-bait ini secara lebih luas mungkin bisa dipakai untuk menggugat para penguasa—entah elit/rezim politik maupun elit/rezim ekonomi—yang mengkapling-kapling dan menjarah kekayaan negara di mana-mana yang seharusnya dipakai untuk memakmurkan rakyat.

Sangat ironis, Indonesia adalah negara yang kekayaan alamnya melimpah, tetapi semakin banyak rakyat yang miskin dan kelaparan. Kang Maman juga menggugat ketimpangan sosial-pilitik yang mencolok di depan mata, misalnya pada kasus impor beras yang semakin menampakkan kezaliman kekuasaan yang menjadi-jadi. Protes rakyat yang luas, tidak mampu memengaruhi keputusan elit politik karena penguasa dan elit politik adalah gerombolan bandit yang busuk dan korup.

Dalam puisi “Mata”, Kang Maman menulis, …mataku terpejam/ceceran hitam terus membayang/penolakan makin keras/impor beras makin deras. Lewat puisi “Wajah” yang diperuntukkan bagi penyair Sutardji Calzoum Bachri, sekaligus meniru gaya puisi mantranya Sutardji, secara cukup tajam Kang Maman menulis, wajjahtuwajahkuwajahtersiputakmaluterpakukaku/wajjahiyawajahsiapatakbisabedakandosapahala/wajjhukumwajahkumuhburuhberpeluhkeruh/wajjhuhumwajahwujuhtaktersentuhrusuh/wajjhinawajahlukaderitamanusia.

Sebagai seorang kiai yang tiap hari bergelut dengan doktrin-doktrin agama (Islam), sebagaimana tercermin dalam beberapa puisinya, Kang Maman kadang juga menggugat keberadaan (pemeluk) agama yang acapkali tidak tanggap terhadap problem-problem kamanusiaan yang riil dan mengepung kita, khususnya di bumi pertiwi ini. Agama pun kadang hanya sekadar menjadi “simbol” dan “baju”, atau bahkan secara sadar dijadikan alat oleh sekelompok orang (termasuk kadang para ulama) untuk berkelit, berdusta, dan mengelabui, sebagaimana banyak terjadi di negeri ini. Agama juga sering digunakan sebagai “kendaraan” untuk meraih uang dan kekuasaan.

Dalam puisi “Masa”, Kang Maman melontarkan kritik pedas berikut, masjid di negeri para wali/membatu dalam jejak gulita/rintih peziarah terhijab sepi/hanyutkan jiwa berjubah dusta/saatnya bicara lagi/tentang pangeran yang dibenci rakyat/tentang candi yang kehilangan api/tentang masjid yangt tak bernyali.

Dalam puisi yang lain berjudul “Kupu-kupu”, Kang Maman mencoba melukiskan suatu kehidupan yang penuh ironi dengan larik-larik yang sederhana dan enak dibaca. Kupu-kupu ini mungkin merupakan simbol dari seseorang yang mungkin cantik dan menawan, tetapi tidak berdaya. Di balik keindahannya, ternyata dia menyimpan kesedihan, kepedihan, dan kehampaan. Suatu duka lara dan nestapa. Kang Maman menulis, kupu-kupu menari/di kerut wajah manismu/meliukkan tubuhnya/bersama seluruh kehampaan/kupu-kupu menyanyi di ujung bibir merahmu/mengepakkan sayapnya/bersama seluruh kesedihan/kupu-kupu membisu/di bawah telapak kakimu/meratapi nasibnya/bersama seluruh kepedihan.

***

Entah merupakan faktor kebetulan atau disengaja, yang paling banyak menghiasi kumpulan puisi “Ku Pilih Sepi” adalah kosakata “cinta”. Tampaknya Kang Maman cukup terobsesi oleh para sufi besar sepanjang sejarah yang acapkali menebarkan konsep cinta. Cinta adalah energi dan daya hidup yang luar biasa. Cinta mampu melampaui berbagai baju primordial yang sempit dan sektarianistik, entah itu bernama agama, suku, ras, jenis kelamin, atau apa pun. Cinta adalah kekuatan yang merawat dan memekarkan kehidupan, ia selalu melawan kekuatan destruktif yang merusak kehidupan.

Cinta yang dimaksudkan dalam puisi-puisi Kang Maman, tampaknya punya skala dan level yang bermacam-macam, baik itu cinta antar pribadi, antar umat manusia, cinta kehidupan, bahkan cinta kepada Tuhan. Seorang sufi (besar) biasanya adalah juga seorang pecinta yang agung.

Ibnu Arabi, seorang sufi besar, misalnya pernah membuat puisi yang cukup menggetarkan yang berjudul “Agama Cinta”. Salah satu cuplikan baitnya berbunyi,…Aku beragama dengan agama cinta/Aku berada di mana (agama cinta) itu berada/Cinta adalah agamaku dan imanku.

Sebagai penyair yang belum cukup intens menggumuli puisi, puisi-puisi Kang Maman terasa sederhana, tidak rumit, dan tidak terkesan ndakik-ndakik. Beberapa puisinya kadang terkesan datar dan kurang punya greget, tetapi ada juga yang cerdas, bernas, dan menjotos! Dalam puisi “Pasir Sumedang”, Kang Maman memunculkan kosakata “Pengembara yang terjungkal dalam jurang gelisah”. Saya mencoba mengadaptasinya untuk membingkai esai sederhana ini dengan judul “Pengembara dalam Tubir Kegelisahan”. □

M. Arief Hakim, penikmat sastra dan puisi,

Tidak ada komentar: