MENIKMATI PENGALAMAN, MERENGKUH JEJAK TUHAN
Acep Iwan Saidi
Kumpulan puisi yang sedang Anda baca ini merupakan sebuah laporan perjalanan. Kita bisa menemukan informasi demikian dari judul kecil antologi ini, yakni “Napak Tilas Di Tanah Suci”. Dengan itu, KH Maman, melalui aku lirik sajak-sajaknya, tampak sedang ingin bercerita tentang berbagai hal di tanah suci yang dalam sebuah kesempatan ia kunjungi. Ia seakan hendak memberi semacam pengetahuan.
Tapi, pengetahuan yang kita dapat dari sajak tentulah akan berbeda dengan yang kita temukan melalui wahana lain, bahkan jauh berbeda dari apa yang diberikan ilmu, sains, dan teknologi. Sains dan teknologi memberikan pengetahuan dengan perhitungan-perhitungan akali, tapi sekaligus dengan itu mereduksi. Reduksi tak terhindarkan sebab sains dan teknologi bersifat merumuskan, yang dengan begitu menyeleksi juga menggeneralisasi. Dalam proses ini, yang renik, empirik, dan keseharian sering lepas dari hitungan. Soal manusia dan kemiskinan, misalnya, sering direpresentasikan melalui sederet angka dan grafik. Substansi kemanusiaan dan kemiskinannya sendiri yang renik dan njlimet tidak pernah bisa terekam. Itulah sebabnya, barangkali, Nietszhe pernah berteriak lantang bahwa sains dan teknologi telah melakukan denaturalisasi. Sains dan teknologi tidak bisa dijadikan dasar dari peradaban, kata Schiler. Hanya seni—di dalamnya tentu sastra—, kata mereka, yang relevan bagi acuan peradaban.
Sastra memang bisa juga dijadikan sumber pengetahuan. Tapi, sumber pengetahuan yang dimaksud bukan melulu akal, melainkan imajinasi, demikian dikemukakan Aristoteles berabad lalu. Dengan imajinasi realitas dicitrakan penyair. Pencitraan adalah sebuah mekanisme di mana realitas dibelah, dilubangi, dan dimasuki sampai ke ruang-ruang yang misterius, sampai ke sebuah sudut yang menggemakan refleksi. Dalam proses itu pengalaman yang paling renik sekalipun ditemukan, ditangkap, lantas diartikulasikan dalam bahasa yang terseleksi. Dengan itu, sajak tidak memberi kita pengetahuan, melainkan pengalaman.
K.H Maman, sebagai penyair, kiranya juga berproses dalam mekanisme demikian. Puisi yang terkumpul dalam antologi ini menunjukkan bagaimana penyair berikhtiar keras mengartikulasikan pengalaman yang ia tangkap dalam perjalanan ke tanah suci. Barangkali yang ia temukan dalam pengalaman itu lebih dari sekedar bahasa sajak, tetapi jauh lebih sublim, lebih misterius, hal yang penyairnya sendiri tak sanggup membahasakannya. Atau sebaliknya, ia menemukan sesuatu ketika sajak telah selesai ditulis, mungkin saja ia menemukan bahasa yang melampaui realitas yang dialaminya. Atau, bisa saja, ia berada dalam tarik-menarik di antara kedua hal tersebut.
Pemilihan judul antologi ini, Penguin, juga bisa dilihat sebagai artikulasi dari ikhtiar penyair demikian. Penguin, dalam sajak-sajak pada kumpulan ini beberapa kali salin rupa. Pada sebagian besar sajak, penguin identik dengan ”dia”—yang dikisahkan aku lirik—yang pasrah. Penguin agaknya merupakan artikulasi dari diri penyair sendiri, penyair sebagai hamba yang terus berusaha mendekati jejak Tuhannya. Perhatikan bait pertama sajak Pelepasan, ”Azan mulai/melepas penguin/ke negeri impian/bertahun-tahun/menabung/keringat/dalam/celengansemar/memapahdoa/
terlelap.
Namun, pada sajak-sajak tertentu, penguin berubah menjadi sosok lain. Pada sajak Semalam di Masjidil Al-Haram, misalnya, aku lirik berkisah tentang dua penguin yang sedang berpelukan, berpagut di bawah malam tanpa bintang. Apakah penguin yang dimaksud di situ ril sebagai binatang (burung), atau sebuah simbol. Kita tidak mendapat jawaban yang terang. Pada bait terakhir sajak ini ditemukan larik, ”Dekat kabah, dua jasad terbujur. Tubuh mereka bercahaya. Mata/menutup kekal/Keduanya terikat janji dengan ilahi”. Dua jasad ini, saya kira, akan segera mengingatkan kita pada sosok Ibrahim dan Ismail. Tapi, apakah dua jasad ini merupakan jasad yang sebelumnya disimbolkan melalui dua penguin yang berpagut di suatu malam tanpa bintang itu? Saya tidak menemukan rambu-rambu yang menuntun ke arah pemahaman tersebut. Mungkin penyair sendiri memang hendak membiarkan hal itu sebagai sebuah teka-teki, sebuah misteri; bukankah hal-hal misterius memang sering kita temukan dalam keseharain? Apalagi pada saat orang menjalankan ibadah haji.
Sementara itu, pengalihan nama pada penguin tampak terang pada sajak Berhala dan Ibrahim. Pada sajak Berhala, penguin adalah personifikasi dari patung berhala yang dihancurkan Ibrahim pada zaman kerajaan Abrohat. Perhatikan bait pertamanya sebagai berikut:
”Penguin terbesar yang muram, matanya merah, kotor
Dan berdarah. Berkalung kampak Ibrahim ia berkuasa
Tapi kehilangan percaya diri”
Bandingkan potongan sajak tersebut dengan sajak Ibrahim yang dikutip utuh di bawah ini:
Desir ular mengawal malam
Angin menyanyi di dupa altar
: sang Raja tua murka
Berhala-berhala terluka
Bunga kurma memayung
Mengipas keringat deras
:penguin menggeliat
Pori-porinya tersumbat
Jejak telapak unta tak nampak
Yang ada hanya goresan kampak
: penguin terus mengembara
Kota tua menyambut mesra
Tampak sesuatu yang bertolak belakang pada kedua sajak di atas. Jika pada sajak Berhala yang disebut penguin adalah berhala, pada sajak Ibrahim penguin adalah Ibrahim—yang notabene sebagai orang yang menghancurkan berhala.
Melihat fakta tesktual seperti itu, kita tidak bisa mensemiotisasi penguin dalam kumpulan ini sebagai sebuah metafora yang maknanya identik atau sejenis. Kita tahu bahwa penguin adalah sejenis burung laut (sphenisciformes) yang tidak bisa terbang, terdapat di daerah Kutub Selatan dengan sayap yang digunakan untuk berenang, kaki berselaput untuk berenang, dan di darat berjalan tegak lurus[1]. Tapi, dalam kumpulan sajak ini, sebagaimana telah diuraikan di atas, identitas penguin selalu berubah-ubah. Dalam sajak tertentu ia bahkan bertolak belakang dengan logika metaforiknya.
Apakah dengan begitu penyairnya telah tidak konsisten atau tidak melakukan studi yang serius atas bahasa? Saya ingin menempatkan kumpulan sajak ini dalam ruang pemahaman yang lain, yakni bagaimana sebuah perjalanan spritual sedang direfleksikan. Dengan kata lain, pengalaman pra-reflektif yang merefleksi menjadi lebih penting dari persoalan bentuk. Ia tidak terlalu peduli apakah penguin harus menjadi sarana semiotis atau bukan. Ia lebih berkisah ke dalam diri, ke sebuah penyadaran diri. Sajak-sajak macam ini, hemat saya, memang belum selesai berkomunikasi. Teks harus dilampaui jika komunikasi ingin dibangun. Artinya, penyairnya sendiri dituntut hadir dalam proses komunikasi sebab dengan itu ia menjadi lengkap. Saya membayangkan betapa refleksi diri ini akan menemukan gregetnya jika si penyair yang memang seorang kyai mendendangkan sajak-sajak dalam kumpulan ini pada pertemuan langsung dengan publik. Singkatnya, sajak-sajak dalam kumpulan ini tidak bisa dibaca dalam metodologi pembacaan ilmiah-Barat yang logis-metodologis di sekolah-sekolah formal. Ia harus ditempatkan di ruang pesantren di mana aspek-aspek ”metalinguistik” (suasana, hubungan silaturahmi, bunyi, dan aspek suprasegmental lain) jauh lebih berperan dan bermakna. Justru ikatan-ikatan komunal macam itu, saya pikir, yang menjadi identitas kita sejak masa lampau dan sesungguhnya terus mewaris hingga kini.
Tapi pun begitu, bukan berarti semua sajak dalam kumpulan ini ”berciri kolektif” demikian. Dalam model pembacaan metodologis-Barat, pada beberapa sajak saya juga menemukan idiom yang bagus. Perhatikan, misalnya, bait pertama sajak Keajaiban Sholat berikut, ”rakaat sholatku/mengingatkan pada menara pisa/sedikit condong tapi angkuh”. Juga perhatikan dua larik pertama sajak Ibrahim yang dikutip di atas. Pada sajak Kabar Adam di Arafah, penyair bahkan terlihat memiliki keberanian sekaligus kenakalan bermain dengan bahasa. Perhatikan kutipannya di bawah ini:
Sejak turun dari langit
Ia tersungkur di celah laut
Ajal begitu dekat
Kabar menyebar di darat
Ibarat buih terus memuncrat
Dusta memang dasyat
Badai tiada surut
Selalu ada yang sekarat
Dengan-Nya Adam tak sepakat
Demikian pembacaan sekilas saya atas sajak-sajak KH Maman dalam antologi Penguin ini. Sebagaimana disinggung di awal, melalui kumpulan sajak ini KH Maman sedang hendak bercerita tentang perjalanannya di tanah suci Mekah. Kisah ini dimulai dari sejak keberangkatannya sebagaimana disampaikan pada sajak pertama, Pelepasan, sampai kepulangan kembali seperti tampak pada sajak terakhir Thawaf Wada. Thawaf wada adalah thawaf terakhir, tahap perpisahan, thawaf yang menandai kepulangan. Tapi, kemanakah sesungguhnya kita akan pulang? KH Maman menulisnya pada bait terakhir sebagai berikut:
Temaram. Kubus batu
Meringkut. Purnama rebah
Di atas hamparan karpet
Merah. Semua penguin
Berpeluk pada-Nya.
Hanya kepada-Nya memang, kita akan kembali. Oleh sebab itu, melalui pengalaman yang dikristalkan dalam kumpulan ini, KH Maman agaknya hendak berpesan, mari rengkuh jejak-Nya! Selamat membaca!
Bandung, 13 April 2008
Acep Iwan Saidi, lahir di Bogor 9 Maret 1969. Lulus sekolah S1 (Fakultas Sastra Unpad, 1995), S2 (FIB UI, 2002), dan S3 (Seni Rupa ITB, 2007). Menulis puisi dan kritik sastra di berbagai media massa dan beberapa buku. Bekerja sebagai dosen di FSRD ITB dalam Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual, juga mengajar di Program Magister Desain ITB dan Program Magister Desain Trisakti.
Pelepasan
Azan mulai,
melepas penguin
ke negeri impian
Bertahun-tahun
menabung
keringat dalam
celengan Semar
memapah doa
terlelap
Azan terus bergema,
jemari angin
menggoyagkan
ujung kain ihram.
Bercanda dengan
debu beribu-ribu
nol
jarak
menantang
Azan berakhir,
telapak penguin
menari
di belantara pasir
berkabut yang
luluh
lantahkan
legam
kematian
Langkah
bagai lempengan baja
kaki-kaki pinguin menapaki pasir
membara: menyisakan jejak
peradaban manusia
tak ada yang bisa menghalangi
langkah penuh gairah, pasrah dan terkadang
berdarah: merangkak
menuju baitullah
debu panas membasahi pipi
memerah tampa keluh kesah
dari bibir mereka
: mengalun nafas surga
semburat cahaya batu hitam
melumat kebekuan iman
bergelora: hanyut dalam pusaran
berputar bagi roda kehidupan
Menuju Mekah
Air dari gunung
Melewati—semak belukar,
ujung bebatuan
dan binatang melata—terus mengalir
Dari keluhuran niat
Tekad sudah bulat
Labbaikallahumma Labbaika Kami datang
Air di sumur
Meluap—tembok retak,
rerumputan,
dan tanah basah—terus menyelinap
Semangat berkobar
Bersorak berkibar
Labbaikallahumma Labbaika Kami berperang
Air di sungai
Menantang—lidah matahari,
angin jahat
dan debu batu—terus menyusup
Samudra menggema
Penuh irama
Labbaikallahumma Labbaika Kami menang
Talbiyah
Labbaika
Lambaian tangan pinguin terlihat kaku
Lenyapkan pongah dan nurani yang membeku
Labbaika
Lelah sudah pengembaraan jiwa yang pasrah
Labuhkan rindu di titik semua arah
Labbaika
Lekang kesunyian di balik trali keciutan hati
Ledakkan setuntasnya cinta sejati nan suci
Labbaika
Lelaku pinguin mencari hakikat hidup
Lepaskan panah asmara yang tak pernah redup
Sudut Kabah
Penguin berputar dalam kumparan kabut
Telentang bangun mengejar setetes anggur
Seribu bayangan putih berbaris di garis pacu
Searah batu hitam talbiyah terdengar syahdu
Dari pintu kabah sorot mata hitam menghujam
Bibir penguin mengering pasi tunduk terdiam
Berkeping-keping jiwa resah terdampar di multazam
Setipis kain putih jarak kokoh terbentang tajam
Kedua telapak tangannya menempel erat
Pada dinding dinding batu hijau berserat
Semua sudut terlewati dengan rindu berat
Bagai unta-unta tua yang melaju sekarat
Di hijir ismail penguin itu terkapar senja
Munajat dengan leher menjulang
Dan langit mencurahkan air mata
Kerinduan pada Nya makin membara
Di depan Kabah
di depan kabah Penguin kecil termanggu
perlahan subuh mengelupas dari pucuk dedaunan malam
: pikirannya kalut dengan masa lalu yang kelam
di depan kabah Penguin kecil menunggu
matanya tak berkedip menatap kubus batu
: angannya menelusuri urat yang kaku
di depan kabah Penguin kecil membisu
lalu lalang beribu jamaah ke arah yang sulit ditebak
: menyulitkan lehernya bergerak
Keajaiban sholat
rakaat sholatku
mengingatkan pada menara pisa
sedikit condong tapi angkuh
sepanjang sholatku
jiwa terhijab dan sirna
bagai greatwall di cina
dalam sujudku
kulihat silhouette kabah
bayangan tuhan sulit diterka
Semalam di Masjid al-Haram
Semalam, kulihat dua pinguin berpelukan
mereka berciuman berulang-ulang di bawah langit tanpa bintang.
mereka saling mencintai. Tapi aneh ada sesuatu di binar matanya,
syair kesedihan memancar. Dan mereka kehilangan dirinya
semakin malam, al-haram tak kunjung lengang. Gemuruh talbiyah semakin sunyi dalam bercakapan keduanya. Air mata berjatuhan ke dalam jiwa.
Mungkin cinta tak mampu menahan nyeri. Gerimis berkeping-keping. Berserakan di pelataran masjid. Mengering di bulu-bulu mereka.
Dari kejauhan seseorang qori melantunkan ayat suci. Jauh sekali. Dekat gua Hira. Jiwa mereka pilu. Rindu berbatu-batu.
Pandanganku mengejar dua pinguan yang sedang bermabuk cinta. Mereka sirna. Malam sama putihnya dengan awan dan hati yang hampa.
Waktu itu, semua telah berubah. Suara azan mengejar angin yang menyentuh daun telinga. Jamaah berbaris mengumbar cinta.
Dekat kabah, dua jasad terbujur. Tubuh mereka bercahaya. Mata menutup kekal. Keduanya terikat janji dengan Ilahi
Makam Ibrahim
Seekor anak pinguin bersimpuh dekat makam Ibrahim. Ia teringat Ismail, “ ah, anak yang malang”, gumamnhya. Saat dalam kandungan, ia bergumul dengan sunyi dan auman srigala. Ibunya, berlari-lari antara Shofa dan Marwa. Mencari air dari ujung yang satu ke ujung yang lain.
Sang Ibu, Menangis. menjatuhkan dirinya ke atas bukit,
sama sekali tak berdaya. Menutupi kepalanya dengan kerudung
. Membungkuk rendah. Mencium sang bayi dengan kesedihan dan luka. Kaki sang bayi meronta. Menyemburkan zamzam
Suatu keluhan meluncur keluar dari lubuk hati anak pinguin, ” tega nian sang Bapak . mencambuk anak dan istri dengan api penderitaan?”. Angannya mengembara saat Ibrahim kembali menemui istri. Dan sang anak yang tak mengenalnya. Ia kecewa dalam rindu membara.
Akhirnya, tiga hati kembali. Tapi perintah Ilahi memaksa sebuah pengorbanan. Ketiganya pasrah. Dan sang ayah menjatuhkan pedangnya.
Ismail berkata, “Wahai ayah, dengan iman begitu murni. Mengapa tidak mampu kita tunjukkan ketaatan?”. Sebuah prasasti cinta terbentuk.
Hajar Aswad
Pada rubi surga itu, pinguin tua bercerita
tentang rahasia sahabat yang berkhianat.
Batu itu diam. Dinding takdir takkan tertembus
Doa-doa tampa ketulusan pada sesama
Batu itu hitam tampa tempa. Diusap, dicium, dikecup
jutaan pinguin. Tak satupun rahasia yang dibuka
Ia hanya mendengar. Ribuan tahun—dari Adam hingga
Kita—ayat cinta memijar sarat makna
Sorban sang Nabi membungkus batu tak berlumut itu
Saat unta-unta memperdengarkan gemerincing amarah
Dan cambuk itu semakin membara. Ujung demi ujung
kain itu mengelopak. Mekar sempurna
Sang pinguin ingat ibrahim dan ismail thowaf. Berkeliling
Kabah membawa batu yang terapung di air ini. Kubus tua telah berdiri jadi ayat Ilahi. Meluapkan samudra manusia
yang berbondong tuk menjamah
sanubari semesta
Arafah
Sebuah panggung tampa payung
dipenuhi penguin yang bergumam
rindu. Selimut putih berlajur sedih
Matahari menyeringai, mengucurkan
darah dendam untuk kulit legam
dan hati yang tenggelam
Maut hampir menjemput. Penguin rabun
terbaring menatap awan kelabu. Serpihan
debu memadat jadi batu
senja merah mencengkram padang
luas. Panggung replika “makhsyar” itu
melepuh. Penguin bersimpuh angkuh
Mina
Duaratus tahun
memahati pipi dengan api
Guratan asa hilang terbawa
Duaratus tahun
Pori-pori wajah diluluri
Merendam rindu dalam bisu
Duaratus tahun
Cumbu rayu berembus lepas
Angin malam menghapus jejak
Duaratus tahun
berlalu. Malam itu
Jabal Rahmah berbisik,
ia terbang,
Cinta datang
Mekah
Isyarat
Dari kitab-kitab suci
Dari lidah-lidah Nabi
Dari bulir-bulir pasir
Serta gemerincik air
di oase-oase
sunyi:
inilah tanah suci
pertama kali
bumi berdiri
Adam tiba
Jemari mengayam cinta
Lidah berkeluh derita
Tangan mendekap air mata
Di sela gerah mentari
Tanah gersang
Dan bebatuan
legam:
inilah tanah suci
Harapan semua manusia
kembali
Jumrah
Di lorong
Terowongan mina
Zaman terus berganti
Penguin beriringan
Dikawal
sunyi
Kerikil
beterbangan
Menguak suram
Satu persatu
munajat
senyap
angin
menghilang
lenyap ditelan malam
berhari-hari
dikepung
api
Terowongan
Memasuki terowongan panjang
Mulut komat-kamit membaca mantra
Memasuki terowongan panjang
Tembok batu berbicara mimpi
Memasuki terowongan panjang
Jejak waktu terlihat membisu
Memasuki terowongan panjang
Kurangkul bayangan masa lalu
Memasuki terowongan panjang
hanya ada kegelapan yang tersesat
Kiswah
Menanti purnama
seekor penguin menghitung gelang-gelang tembaga
mengikat gelisah Kabah dengan Kain hitam terjuntai
tangannya terlipat di dada
manik-manik tasbih berdoa seirama detakan jantung
kabah terlihat murung berihram awan yang mendung
penguin semedi
menyobek ujung kain ihram yang melambai gulita semesta
gemuruh riuh menyesaki lorong-lorong kota yang kumuh
senja berakhir
gerimis tipis bernafas dengan doa-doa dan air mata
kabah berselimut dingin malam yang mencekam
Berhala
Pinguin terbesar yang muram, matanya merah, kotor
dan berdarah. Berkalung kampak Ibrahim ia berkuasa
tapi kehilangan percaya diri.
Ia limbung. Entah berapa banyak bayi pinguin dilahap,
tulang jompo dikunyah. Bongkahan tanah mengubur tilas
bangsanya yang tertatih, tragis dan perih.
Perutnya semakin buncit, mengkilat bagai cermin. Sebuah jenak
untuk melihat kekuasaan tampa harga diri. Ia berhenti bernafas
tapi tuahnya semakin ganas dan meluas.
Jubah
pinguin berjubah
bersimpuh pasrah
jiwanya penuh amarah
jubah itu berubah
asal sutra mewah
jadi ilalang teteskan darah
serat-seratnya mengikat
tubuh pinguin yang mabuk
mewujud tampa bentuk
Hajar
Di bukit Shofa sehelai jiwa terikat lara
Menanti kekasih tiba. Ia berlari. Tujuh kali
Kekasih tak kembali
Teringat bayinya. Terpanggang di atas perapian
Tunggang langgang ia berlari. Menginjak kerikil
Tajam dan pasir-pasir yang berdarah
Bagai matahari, ia meyusui Ismail melalui kehangatan
Cinta. Tak sesaatpun ia tingalkan bayinya. Hingga angin
Merebahkannya dalam remang tembang padang pasir
Ia adalah bumi. Yang menumbuhkan, menjaga,
membesarkan Ismail dan semua pohon kenabian
air mata dan keringatnya jadi jiwa para pencinta
Zamzam
Berlari-lari kecil, tatapannya setajam ujung batu
menoreh garis panjang menyilang. Munajat berkayuh
dalam bibir tak berair. Meminta air keluar dari celah batu
Ia sendirian merambah lembah, tak satupun nama terucap.
Ibrahim membuat bibirnya membiru. Saat kelopak langit
terbuka. Matahari membakar sahara yang hitam
Air matanya bagai manik-manik tasbih. menguntai doa
dan senyap dalam gelisah. Semalam suntuk cumbu
musnah. Ia peziarah yang tersesat dalam nektar cinta
Antara shofa marwa ia tegadah. Bumi retak hingga rekah
terbelah. Zamzam mengalir, derita berakhir. Sang bayi
menyesap susu cahaya. Keduanya melantunkan syair nabawi
Ibrahim
Desis ular mengawal malam
Angin menyanyi di dupa altar
: sang Raja tua murka
Berhala-berhala terluka
Bunga kurma memayung
Mengipas keringat deras
: penguin menggeliat
pori-porinya tersumbat
Jejak telapak unta tak nampak
Yang ada hanya goresan kampak
: penguin terus mengembara
Kota tua menyambut mesra
Adat Arab
Tuhan berfirman:
Semua manusia sama!
Mereka Berkata:
Tapi inilah tempat suci
Milik kami!!
Nabi bersabda:
Bersikaplah ramah!
Mereka berkata:
Maaf, ini soal gaya
Bukan marah!!
Ekonom bertutur:
Pembeli adalah raja!
Mereka berkata:
Pembeli kami layani
Cuma nawar? Keluar!!
Dokter berbicara:
Ganti gelas, jangan bergantian!
Mereka berkata:
Satu gelas cukup
Kami cinta persaudaraan!!
Waria bercanda:
Ah, jangan pegang daguku.
Mereka berkata:
Itu janggut. Kalau pantat
Haram!!Takut kentut.
Para feminim mengeluh:
Perempuan ingin dihargai!
Mereka berkata:
Ya, jangan sendiri.
Mau kami temani??
Zaman
Zaman bermuram
Setiap hari, pagi dan senja, datang bencana
Zaman menghitam
Tatkala hujan meneteskan darah haid yang memadat
Zaman berulah
Ia turunkan kaum perempuan dari punggungnya
Zaman berakhir
Saat kaki bayi lelaki menendang perut sang ibu
Mimpi di Hira
mataku
bagai batu
menutupi pintu gua
suasana senyap gulita
hanya mimpi berasap
jangan remukkan batu
walau dengan jemari
biarkan asap
menembus porinya
khidir telah hadir
setia mengeja senja
dengan sunyi
membakar dunia
Kunjungan Menteri di Tanah Suci
ada menteri
berbincang dengan jamaah haji
semua wajah berseri
bukan karena tak ada rasa nyeri
wajah menteri seperti bayi
yang tidak peduli
ada menteri
menjual nasi pada jamaah haji
semua menahan nyeri
di kemah-kemah terpanggang api
bibirnya membaca ayat ilahi
bak srigala penuh dengki
ada menteri
keliling ke semua pemondokan haji
melihat jamaah tertimpa besi,
batu, air dan janji-janji. Sang menteri
berbicara yang sulit dimengerti
Angkuh
Di tempat ini
Tak pernah kulihat
Kepak sayap kupu-kupu
Hanya tangan penguin yang kaku
Di tempat ini
Tak pernah kudengar
Getar sayap kupu-kupu
Hanya doa penguin penuh nafsu
Di tempat ini
Tak pernah kurasakan
Kelembutan kupu-kupu
Hanya keangkuhan penguin yang ragu
Tempat Kelahiran Nabi
--untuk Khodim al-Haramain
tuk cinta
penamu
tak bertinta
Pasar malam menjajakan darah pekat
dan hitam.
tuk dusta
tintamu
tahan lama
sejengkal dari tempat sai cahaya lekas
menepi
tuk pena
bohong
adalah senjata
germis menghisap waktu agar sirna
di kalbu
ya Rasul
Kami tetap setia
Jahiliyah
dari sudut kota—gang-gang kumuh,
loteng-loteng tua dan lalu lalang
manusia—aku memandangi
bangunan tua
batu-batu berserakan
dari sudut kota—arak yang menyengat,
kartu-kartu judi dan air mani
yang tercecer—aku mengingat
tangan-tangan kekar
bayi-bayi telungkup remuk
dari sudut kota—jual beli manusia, warisan
janda-janda dan prilaku barbar
yang keji—aku merinding
srigala-srigala berjubah
jiwa dalam kendali berhala
Gua Hira
Ia sendiri
Menaiki bukit terjal
Dibayangi ribuan kegalauan
Batu-batu tajam
terkelupas
Dalam pelukan nyeri
ia sendiri
Ia berdiri
Di atas bukit sunyi
Memandang kota derita
Angin sahara
Menangis
dalam pelukan Jibril
ia sendiri
Ia semedi
Didekap dinding kering
Sekeliling terasa sepi
Mantra-mantra
hampa
dalam pelukan Ilahi
ia sendiri
Gua Tsur
Keduanya melewati
perkampungan, telinga
membengkak akibat anak
panah yang marah
dan fitnah
Keduanya menoleh, hingga
kampung itu tak tampak
Mata memberi kabar
nafas-nafas penguin
yang terampas
Keduanya mendekap
kaki Tsur, gunung itu
bak wajan ditelungkupkan
hingga laba-laba
tak mau bicara
keduanya saling
memandang, empat mata
berjanji sehati
merpati jadi
saksi
Tayamum
Penguin berguling
di lautan pasir. Mengutuk subuh
dan birahi sang betina
lalu bangun. Fajar tergantung
di antara bunga-bunga kurma
dan jendela rumah tua
Ia tutup jendela
karena silau senyuman sang Nabi
dan wajah merona malu
Dua tangan berdebu. Mengusap
wajah yang malu. Kepala
mengangguk
Mimpi Buruk
Tergeletak di pekuburan Ma’la, penguin mengenang
Nyeri: berita panjang bagai sayatan belati yang membeku
Darah berdesir. Tersobek hatinya. Luka digarami Berita
tak kunjung reda ...
Dari Mandalika, di sebuah kapal penumpang:
balik tirai senyum ombak
Mengintip. Sepoi angin bernapas rindu merayu
mentari pagi hari.
semua sekejap sirna. kabut tipis
beralih rupa. perlahan, ombak menebar jaring api
hujan berbalik ke langit
menggelincirkan impian penumpang
yang terlelap di papan kematian:
gemuruh air mata menggarami lautan,
riak gelombang
berselimut darah, tangisan malam membeku
hingga napas subuh meluluh.
tangan-tangan bayi berdiang di abu dingin
dan kapal itu
ditelan angin malam yang tergenggam asap
lorong samudera dirangkaki
tulang belulang
tak satupun kunang-kunang
menerangi jejak ombak. jauh di belakang,
sisa kehidupan jadi nisan-nisan bermunculan
dari kapal yang berayun ke dasar.
hujanpun menetes, menghisap amis darah,
menggurisnya jadi batu karang
yang siap mencabik bangkai kapal dan
potongan tubuh tampa kepala.
lambat-lambat mendekat,
purnama suram menuntun sekoci
yang terombang-ambing di samudera luas
mencapai pantai yang lama menanti.
tapi
banyak yang tenggelam
tidak muncul kembali.
Oh, Tuhan
Pasti berita ini mengharu seluruh negeri. Dan pekat duka mengikat
Para penguin untuk bersujud dengan kaki luka dan berdarah
Kabar Adam di Arafah
sejak turun dari langit
ia tersungkur di celah laut
ajal begitu dekat
kabar menyebar di darat
ibarat buih terus memuncrat
dusta memang dahsyat
badai tiada surut
selalu ada yang sekarat
dengan-Nya Adam tak sepakat
Embun
: inmemoriam Adam Air
embun panas bersemayan
menitikkan keperihan, desir angin
dan air mata meriap-riap di ujung senja
pertentangan cahaya dan diri yang terbakar
barangkali, bencana itu ibarat hantu
tumpukan jerami berselimut bangkai-bangkai busuk
berpuluh, beratus, beribu bertumbangan.
tampa seutas tali, janji bergelantungan.
selendang putih melilit tubuh adam
terbang sempoyongan dengan kerusakan navigasi,
kantuk membenamkan seribu bencana.
masihkah kematian menakutkan?
Sisa Kepedihan
ada sisa kenangan
pesan terakhir ponsel penghuni keranda,
rangkaian hurup menguapkan aroma
dupa darah mengering di kelopak mata
ada sisa kenangan
percakapan terakhir di bandara,
awan kelam memberaikan angan
luruh tak sempat disemaikan
ada sisa kenangan
kabar terakhir di istana
sang raja terus menebar pesona
jerit tangis dan darah jadi irama
Tausiah dari Tanah Air
agar jantung sehat
naiklah boeing 737
milik Sriwijaya Air, Adam Air, Mandala Airlines
selama 2006 ada terapi menarik:
navigasi yang ruksak
torquelink roda patah
terjun bebas ke celah laut
untuk 2007, semua peserta bisa langsung hilang
tampa harus terbang
agar badan kuat
coba berenang
di Sidioarjo atau Jakarta
ada banyak pilihan di sana:
berendam di lumpur panas
berkubang di air pekat
atau bersenang-senang di kolam air mata
dan keringat. tahun depan, akan ada lomba renang
ke sebrang samudera api
agar perjalanan cepat
banyak pilihan yang ditawarkan
pesawat terbang, kapal laut, kereta api,
mobil, motor atau sepeda ontel
ada pendaratan darurat di bandara
ada penenggelaman masal di semua samudera
ada penghentian paksa sebelum kereta tiba
ada akrobat bis menghantam
pengendara sepeda yang terperosok lubang panas
di jalan raya. agar investasi hemat, memang semua harus sekarat.
Hari Raya
Besok hari raya.
Segerombol pinguin berdayung di lautan pasir
Meninggalkan luka dan bisikan batin yang menggangga.
Besok hari raya.
Padang arafah hangus oleh pelepah kurma yang terbakar api.
Rindu terus menghujam. Walau tanpa baju. Tanpa keju
Besok hari raya.
Angin berteriak, “ hai pinguin, apa yang kalian pakai?”.
Bergema dalam gelak, mengganjal dalam sayatan kenangan.
Besok hari raya.
Baju penuh tambalan dan kaki pinguin yang mengelupas kepanasan
Terus melangkah pasrah. Untuk melihat Tuhan.
Hari raya tiba!
Derita itu sirna. Cinta para pinguin memadat semakin kuat
Mimpi untuk kembali menghantui. Bagai luka digarami.
Raudhah
Walau bintang
mengerdip
Mengajak bercumbu
di pelataran
Sang penguin terengah-engah
Memburu sang Nabi
Di pembaringan
Ia bingung.
Dengus angin sahara
Lambaian pelepah kurma
Nyanyian ghaib semesta
Dan rintihan berjuta hamba
Membutakan langkahnya
Ribuan temali nafsu
Menjulur-julur
Melilit hati
Mengiris jemari
Ia terus bergegas
Memanggil Sang Nabi
O, Muhammad
Pasar Kurma
Rangkaian kurma di ujung mata
Menantang penguin untuk memetiknya
(rangkaian tasbih tercampak
Bibir yang tadi berdzikir tercium anyir)
Nafas surga
Terganti
Dan penguin terpaku
pada tumpukan kurma
ia menatap “ajwa”
dan duapuluh enam jenis lainya
seolah-olah pasar itu sebuah baskom
liur menetes
pedagang protes
Dua hati
Mati
Dua Kiblat
Langit cerah
mengasuh hati Penguin
yang gelisah
: bola mata bergerak jenuh
Jemari beradu
Dalam dada yang terluka
Berlagu pilu
: celeret langit tak nampak
Terasa enggan
Ajakan sholat mengambang
Berdiri kaku
: rakaat demi rakaat sekarat
O, yes!
Paruh kedua ada tawa
Badan berbalik arah
: wajah kembali ke mekah
Ja’ranah
ini soal perempuan pengurai
benang yang ia pintal seharian
Juga soal sumur yang pernah
ditaburi racun kematian
Semua melekat dalam semangat
budak penghianat
namun sepasang mata khusyuk
memecah pekat yang sekarat
sekarang, bukan soal benang dan racun
Dari tempat ini ihram dimulai
Khamar
Hampir tiap hari
Penguin muda terlibat diskusi
Di sebuah warung kecil ia meneguk teh susu
Yang terasa aneh. Serasa khamar
Sudah tiga hari
Penguin muda itu terlibat diskusi
Tentang khamar yang disuguhkan pelayan
Ia tak sadar dan mabuk kepayang
Sudah berkali-kali
Penguin muda itu terlibat diskusi
Di tangannya secangkir khamar. Menyeret
Jiwa ke dunia bawah sadar
Hanya kali ini
Penguin muda itu terlibat diskusi
Dengan mulut bau khamar. Jemarinya
Menggenggam mutiara
Jabal Uhud
Tak ada senyum
berpendar
di puncak-puncak
Gunung Kemerah-
Merahan itu
Hamzah
Jadi tumbal
para pemanah
Di padang pertempuran
Kilauan harta rampasan
Menebar getir kegalauan
Materi menafikan
strategi
sang Nabi
terkulai
galau
Senja di Baqi
Bayangan malam terlihat enggan
Menelusuri dinding pemakaman tua
dipenuhi kepala Penguin mengintip hening
: dari liang lahat berhembus nafas syuhada
ribuah jasad di tanah gembur ini
saling berbisik dengan sunyi senja
Debu membumbung memamerkan rindu
: dari arah masjid terdengar rintihan sebait nasyid
Seekor penguin termanggu rindu
Ia mendengar getar dedaunan surga
Berguguran di batu nisan berserakan
: dari kubah sang nabi ada sulur cahaya Ilahi
Thawaf Wada’
Semua penguin keluar
dari hotel. Kilat mata membentang
Tanah gersang. Ingatan mengacak
Waktu. Suara dzikir terdengar
Parau. Sedikit kacau
Dari balik jendela
Bus merayap kenangan di kaca
Berembun. Ujung air mata ibarat
Jarum. Menjahit setiap pori
Dengan serat racun
Temaram. Kubus batu
Meringkut. Purnama rebah
Di atas hamparan karpet
Merah. Semua penguin
Berpeluk pada Nya
Jalan Pulang
Pinguin-pinguin itu
bergerombol mencari jalan
pulang. Mereka mencoba
menyanyikan lagu lama
pada sirip kaki
yang menyeret tubuh
menuju rumah.
Muncul
isyarat tak dikenal
naik bagai bulan yang pecah
oleh jemari yang luka
parah. Malaikat berdatangan
membawa tali dan menjerat leher
mereka yang didera dahaga
keluar dari sahara
dengan debu yang tebal
terjebak dalam pilhan:
menaiki punggung lautan
bercumbu dengan ombak api
atau melayang dengan
angin badai bercabang-cabang?
Sebuah
Lentera menyala
Untuk arwah para penguin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar