Minggu, 14 September 2008

PENGUIN. Napak Tilas di Tanah Suci

MENIKMATI PENGALAMAN, MERENGKUH JEJAK TUHAN

Acep Iwan Saidi

Kumpulan puisi yang sedang Anda baca ini merupakan sebuah laporan perjalanan. Kita bisa menemukan informasi demikian dari judul kecil antologi ini, yakni “Napak Tilas Di Tanah Suci”. Dengan itu, KH Maman, melalui aku lirik sajak-sajaknya, tampak sedang ingin bercerita tentang berbagai hal di tanah suci yang dalam sebuah kesempatan ia kunjungi. Ia seakan hendak memberi semacam pengetahuan.

Tapi, pengetahuan yang kita dapat dari sajak tentulah akan berbeda dengan yang kita temukan melalui wahana lain, bahkan jauh berbeda dari apa yang diberikan ilmu, sains, dan teknologi. Sains dan teknologi memberikan pengetahuan dengan perhitungan-perhitungan akali, tapi sekaligus dengan itu mereduksi. Reduksi tak terhindarkan sebab sains dan teknologi bersifat merumuskan, yang dengan begitu menyeleksi juga menggeneralisasi. Dalam proses ini, yang renik, empirik, dan keseharian sering lepas dari hitungan. Soal manusia dan kemiskinan, misalnya, sering direpresentasikan melalui sederet angka dan grafik. Substansi kemanusiaan dan kemiskinannya sendiri yang renik dan njlimet tidak pernah bisa terekam. Itulah sebabnya, barangkali, Nietszhe pernah berteriak lantang bahwa sains dan teknologi telah melakukan denaturalisasi. Sains dan teknologi tidak bisa dijadikan dasar dari peradaban, kata Schiler. Hanya seni—di dalamnya tentu sastra—, kata mereka, yang relevan bagi acuan peradaban.

Sastra memang bisa juga dijadikan sumber pengetahuan. Tapi, sumber pengetahuan yang dimaksud bukan melulu akal, melainkan imajinasi, demikian dikemukakan Aristoteles berabad lalu. Dengan imajinasi realitas dicitrakan penyair. Pencitraan adalah sebuah mekanisme di mana realitas dibelah, dilubangi, dan dimasuki sampai ke ruang-ruang yang misterius, sampai ke sebuah sudut yang menggemakan refleksi. Dalam proses itu pengalaman yang paling renik sekalipun ditemukan, ditangkap, lantas diartikulasikan dalam bahasa yang terseleksi. Dengan itu, sajak tidak memberi kita pengetahuan, melainkan pengalaman.

K.H Maman, sebagai penyair, kiranya juga berproses dalam mekanisme demikian. Puisi yang terkumpul dalam antologi ini menunjukkan bagaimana penyair berikhtiar keras mengartikulasikan pengalaman yang ia tangkap dalam perjalanan ke tanah suci. Barangkali yang ia temukan dalam pengalaman itu lebih dari sekedar bahasa sajak, tetapi jauh lebih sublim, lebih misterius, hal yang penyairnya sendiri tak sanggup membahasakannya. Atau sebaliknya, ia menemukan sesuatu ketika sajak telah selesai ditulis, mungkin saja ia menemukan bahasa yang melampaui realitas yang dialaminya. Atau, bisa saja, ia berada dalam tarik-menarik di antara kedua hal tersebut.

Pemilihan judul antologi ini, Penguin, juga bisa dilihat sebagai artikulasi dari ikhtiar penyair demikian. Penguin, dalam sajak-sajak pada kumpulan ini beberapa kali salin rupa. Pada sebagian besar sajak, penguin identik dengan ”dia”—yang dikisahkan aku lirik—yang pasrah. Penguin agaknya merupakan artikulasi dari diri penyair sendiri, penyair sebagai hamba yang terus berusaha mendekati jejak Tuhannya. Perhatikan bait pertama sajak Pelepasan, ”Azan mulai/melepas penguin/ke negeri impian/bertahun-tahun/menabung/keringat/dalam/celengansemar/memapahdoa/

terlelap.

Namun, pada sajak-sajak tertentu, penguin berubah menjadi sosok lain. Pada sajak Semalam di Masjidil Al-Haram, misalnya, aku lirik berkisah tentang dua penguin yang sedang berpelukan, berpagut di bawah malam tanpa bintang. Apakah penguin yang dimaksud di situ ril sebagai binatang (burung), atau sebuah simbol. Kita tidak mendapat jawaban yang terang. Pada bait terakhir sajak ini ditemukan larik, ”Dekat kabah, dua jasad terbujur. Tubuh mereka bercahaya. Mata/menutup kekal/Keduanya terikat janji dengan ilahi”. Dua jasad ini, saya kira, akan segera mengingatkan kita pada sosok Ibrahim dan Ismail. Tapi, apakah dua jasad ini merupakan jasad yang sebelumnya disimbolkan melalui dua penguin yang berpagut di suatu malam tanpa bintang itu? Saya tidak menemukan rambu-rambu yang menuntun ke arah pemahaman tersebut. Mungkin penyair sendiri memang hendak membiarkan hal itu sebagai sebuah teka-teki, sebuah misteri; bukankah hal-hal misterius memang sering kita temukan dalam keseharain? Apalagi pada saat orang menjalankan ibadah haji.

Sementara itu, pengalihan nama pada penguin tampak terang pada sajak Berhala dan Ibrahim. Pada sajak Berhala, penguin adalah personifikasi dari patung berhala yang dihancurkan Ibrahim pada zaman kerajaan Abrohat. Perhatikan bait pertamanya sebagai berikut:

”Penguin terbesar yang muram, matanya merah, kotor

Dan berdarah. Berkalung kampak Ibrahim ia berkuasa

Tapi kehilangan percaya diri”

Bandingkan potongan sajak tersebut dengan sajak Ibrahim yang dikutip utuh di bawah ini:

Desir ular mengawal malam

Angin menyanyi di dupa altar

: sang Raja tua murka

Berhala-berhala terluka

Bunga kurma memayung

Mengipas keringat deras

:penguin menggeliat

Pori-porinya tersumbat

Jejak telapak unta tak nampak

Yang ada hanya goresan kampak

: penguin terus mengembara

Kota tua menyambut mesra

Tampak sesuatu yang bertolak belakang pada kedua sajak di atas. Jika pada sajak Berhala yang disebut penguin adalah berhala, pada sajak Ibrahim penguin adalah Ibrahim—yang notabene sebagai orang yang menghancurkan berhala.

Melihat fakta tesktual seperti itu, kita tidak bisa mensemiotisasi penguin dalam kumpulan ini sebagai sebuah metafora yang maknanya identik atau sejenis. Kita tahu bahwa penguin adalah sejenis burung laut (sphenisciformes) yang tidak bisa terbang, terdapat di daerah Kutub Selatan dengan sayap yang digunakan untuk berenang, kaki berselaput untuk berenang, dan di darat berjalan tegak lurus[1]. Tapi, dalam kumpulan sajak ini, sebagaimana telah diuraikan di atas, identitas penguin selalu berubah-ubah. Dalam sajak tertentu ia bahkan bertolak belakang dengan logika metaforiknya.

Apakah dengan begitu penyairnya telah tidak konsisten atau tidak melakukan studi yang serius atas bahasa? Saya ingin menempatkan kumpulan sajak ini dalam ruang pemahaman yang lain, yakni bagaimana sebuah perjalanan spritual sedang direfleksikan. Dengan kata lain, pengalaman pra-reflektif yang merefleksi menjadi lebih penting dari persoalan bentuk. Ia tidak terlalu peduli apakah penguin harus menjadi sarana semiotis atau bukan. Ia lebih berkisah ke dalam diri, ke sebuah penyadaran diri. Sajak-sajak macam ini, hemat saya, memang belum selesai berkomunikasi. Teks harus dilampaui jika komunikasi ingin dibangun. Artinya, penyairnya sendiri dituntut hadir dalam proses komunikasi sebab dengan itu ia menjadi lengkap. Saya membayangkan betapa refleksi diri ini akan menemukan gregetnya jika si penyair yang memang seorang kyai mendendangkan sajak-sajak dalam kumpulan ini pada pertemuan langsung dengan publik. Singkatnya, sajak-sajak dalam kumpulan ini tidak bisa dibaca dalam metodologi pembacaan ilmiah-Barat yang logis-metodologis di sekolah-sekolah formal. Ia harus ditempatkan di ruang pesantren di mana aspek-aspek ”metalinguistik” (suasana, hubungan silaturahmi, bunyi, dan aspek suprasegmental lain) jauh lebih berperan dan bermakna. Justru ikatan-ikatan komunal macam itu, saya pikir, yang menjadi identitas kita sejak masa lampau dan sesungguhnya terus mewaris hingga kini.

Tapi pun begitu, bukan berarti semua sajak dalam kumpulan ini ”berciri kolektif” demikian. Dalam model pembacaan metodologis-Barat, pada beberapa sajak saya juga menemukan idiom yang bagus. Perhatikan, misalnya, bait pertama sajak Keajaiban Sholat berikut, ”rakaat sholatku/mengingatkan pada menara pisa/sedikit condong tapi angkuh”. Juga perhatikan dua larik pertama sajak Ibrahim yang dikutip di atas. Pada sajak Kabar Adam di Arafah, penyair bahkan terlihat memiliki keberanian sekaligus kenakalan bermain dengan bahasa. Perhatikan kutipannya di bawah ini:

Sejak turun dari langit

Ia tersungkur di celah laut

Ajal begitu dekat

Kabar menyebar di darat

Ibarat buih terus memuncrat

Dusta memang dasyat

Badai tiada surut

Selalu ada yang sekarat

Dengan-Nya Adam tak sepakat

Demikian pembacaan sekilas saya atas sajak-sajak KH Maman dalam antologi Penguin ini. Sebagaimana disinggung di awal, melalui kumpulan sajak ini KH Maman sedang hendak bercerita tentang perjalanannya di tanah suci Mekah. Kisah ini dimulai dari sejak keberangkatannya sebagaimana disampaikan pada sajak pertama, Pelepasan, sampai kepulangan kembali seperti tampak pada sajak terakhir Thawaf Wada. Thawaf wada adalah thawaf terakhir, tahap perpisahan, thawaf yang menandai kepulangan. Tapi, kemanakah sesungguhnya kita akan pulang? KH Maman menulisnya pada bait terakhir sebagai berikut:

Temaram. Kubus batu

Meringkut. Purnama rebah

Di atas hamparan karpet

Merah. Semua penguin

Berpeluk pada-Nya.

Hanya kepada-Nya memang, kita akan kembali. Oleh sebab itu, melalui pengalaman yang dikristalkan dalam kumpulan ini, KH Maman agaknya hendak berpesan, mari rengkuh jejak-Nya! Selamat membaca!

Bandung, 13 April 2008

Acep Iwan Saidi, lahir di Bogor 9 Maret 1969. Lulus sekolah S1 (Fakultas Sastra Unpad, 1995), S2 (FIB UI, 2002), dan S3 (Seni Rupa ITB, 2007). Menulis puisi dan kritik sastra di berbagai media massa dan beberapa buku. Bekerja sebagai dosen di FSRD ITB dalam Kelompok Keahlian Ilmu-Ilmu Desain dan Budaya Visual, juga mengajar di Program Magister Desain ITB dan Program Magister Desain Trisakti.

Pelepasan

Azan mulai,

melepas penguin

ke negeri impian

Bertahun-tahun

menabung

keringat dalam

celengan Semar

memapah doa

terlelap

Azan terus bergema,

jemari angin

menggoyagkan

ujung kain ihram.

Bercanda dengan

debu beribu-ribu

nol

jarak

menantang

Azan berakhir,

telapak penguin

menari

di belantara pasir

berkabut yang

luluh

lantahkan

legam

kematian

Langkah

bagai lempengan baja

kaki-kaki pinguin menapaki pasir

membara: menyisakan jejak

peradaban manusia

tak ada yang bisa menghalangi

langkah penuh gairah, pasrah dan terkadang

berdarah: merangkak

menuju baitullah

debu panas membasahi pipi

memerah tampa keluh kesah

dari bibir mereka

: mengalun nafas surga

semburat cahaya batu hitam

melumat kebekuan iman

bergelora: hanyut dalam pusaran

berputar bagi roda kehidupan

Menuju Mekah

Air dari gunung

Melewati—semak belukar,

ujung bebatuan

dan binatang melata—terus mengalir

Dari keluhuran niat

Tekad sudah bulat

Labbaikallahumma Labbaika Kami datang

Air di sumur

Meluap—tembok retak,

rerumputan,

dan tanah basah—terus menyelinap

Semangat berkobar

Bersorak berkibar

Labbaikallahumma Labbaika Kami berperang

Air di sungai

Menantang—lidah matahari,

angin jahat

dan debu batu—terus menyusup

Samudra menggema

Penuh irama

Labbaikallahumma Labbaika Kami menang

Talbiyah

Labbaika

Lambaian tangan pinguin terlihat kaku

Lenyapkan pongah dan nurani yang membeku

Labbaika

Lelah sudah pengembaraan jiwa yang pasrah

Labuhkan rindu di titik semua arah

Labbaika

Lekang kesunyian di balik trali keciutan hati

Ledakkan setuntasnya cinta sejati nan suci

Labbaika

Lelaku pinguin mencari hakikat hidup

Lepaskan panah asmara yang tak pernah redup

Sudut Kabah

Penguin berputar dalam kumparan kabut

Telentang bangun mengejar setetes anggur

Seribu bayangan putih berbaris di garis pacu

Searah batu hitam talbiyah terdengar syahdu

Dari pintu kabah sorot mata hitam menghujam

Bibir penguin mengering pasi tunduk terdiam

Berkeping-keping jiwa resah terdampar di multazam

Setipis kain putih jarak kokoh terbentang tajam

Kedua telapak tangannya menempel erat

Pada dinding dinding batu hijau berserat

Semua sudut terlewati dengan rindu berat

Bagai unta-unta tua yang melaju sekarat

Di hijir ismail penguin itu terkapar senja

Munajat dengan leher menjulang

Dan langit mencurahkan air mata

Kerinduan pada Nya makin membara

Di depan Kabah

di depan kabah Penguin kecil termanggu

perlahan subuh mengelupas dari pucuk dedaunan malam

: pikirannya kalut dengan masa lalu yang kelam

di depan kabah Penguin kecil menunggu

matanya tak berkedip menatap kubus batu

: angannya menelusuri urat yang kaku

di depan kabah Penguin kecil membisu

lalu lalang beribu jamaah ke arah yang sulit ditebak

: menyulitkan lehernya bergerak

Keajaiban sholat

rakaat sholatku

mengingatkan pada menara pisa

sedikit condong tapi angkuh

sepanjang sholatku

jiwa terhijab dan sirna

bagai greatwall di cina

dalam sujudku

kulihat silhouette kabah

bayangan tuhan sulit diterka

Semalam di Masjid al-Haram

Semalam, kulihat dua pinguin berpelukan
mereka berciuman berulang-ulang di bawah langit tanpa bintang.

mereka saling mencintai. Tapi aneh ada sesuatu di binar matanya,
syair kesedihan memancar. Dan mereka kehilangan dirinya

semakin malam, al-haram tak kunjung lengang. Gemuruh talbiyah semakin sunyi dalam bercakapan keduanya. Air mata berjatuhan ke dalam jiwa.

Mungkin cinta tak mampu menahan nyeri. Gerimis berkeping-keping. Berserakan di pelataran masjid. Mengering di bulu-bulu mereka.

Dari kejauhan seseorang qori melantunkan ayat suci. Jauh sekali. Dekat gua Hira. Jiwa mereka pilu. Rindu berbatu-batu.

Pandanganku mengejar dua pinguan yang sedang bermabuk cinta. Mereka sirna. Malam sama putihnya dengan awan dan hati yang hampa.

Waktu itu, semua telah berubah. Suara azan mengejar angin yang menyentuh daun telinga. Jamaah berbaris mengumbar cinta.

Dekat kabah, dua jasad terbujur. Tubuh mereka bercahaya. Mata menutup kekal. Keduanya terikat janji dengan Ilahi

Makam Ibrahim

Seekor anak pinguin bersimpuh dekat makam Ibrahim. Ia teringat Ismail, “ ah, anak yang malang”, gumamnhya. Saat dalam kandungan, ia bergumul dengan sunyi dan auman srigala. Ibunya, berlari-lari antara Shofa dan Marwa. Mencari air dari ujung yang satu ke ujung yang lain.

Sang Ibu, Menangis. menjatuhkan dirinya ke atas bukit,
sama sekali tak berdaya. Menutupi kepalanya dengan kerudung
. Membungkuk rendah. Mencium sang bayi dengan kesedihan dan luka. Kaki sang bayi meronta. Menyemburkan zamzam

Suatu keluhan meluncur keluar dari lubuk hati anak pinguin, ” tega nian sang Bapak . mencambuk anak dan istri dengan api penderitaan?”. Angannya mengembara saat Ibrahim kembali menemui istri. Dan sang anak yang tak mengenalnya. Ia kecewa dalam rindu membara.

Akhirnya, tiga hati kembali. Tapi perintah Ilahi memaksa sebuah pengorbanan. Ketiganya pasrah. Dan sang ayah menjatuhkan pedangnya.
Ismail berkata, “Wahai ayah, dengan iman begitu murni. Mengapa tidak mampu kita tunjukkan ketaatan?”. Sebuah prasasti cinta terbentuk.

Hajar Aswad

Pada rubi surga itu, pinguin tua bercerita
tentang rahasia sahabat yang berkhianat.

Batu itu diam. Dinding takdir takkan tertembus

Doa-doa tampa ketulusan pada sesama

Batu itu hitam tampa tempa. Diusap, dicium, dikecup

jutaan pinguin. Tak satupun rahasia yang dibuka

Ia hanya mendengar. Ribuan tahun—dari Adam hingga

Kita—ayat cinta memijar sarat makna

Sorban sang Nabi membungkus batu tak berlumut itu

Saat unta-unta memperdengarkan gemerincing amarah

Dan cambuk itu semakin membara. Ujung demi ujung

kain itu mengelopak. Mekar sempurna

Sang pinguin ingat ibrahim dan ismail thowaf. Berkeliling

Kabah membawa batu yang terapung di air ini. Kubus tua telah berdiri jadi ayat Ilahi. Meluapkan samudra manusia

yang berbondong tuk menjamah

sanubari semesta

Arafah

Sebuah panggung tampa payung

dipenuhi penguin yang bergumam

rindu. Selimut putih berlajur sedih

Matahari menyeringai, mengucurkan

darah dendam untuk kulit legam

dan hati yang tenggelam

Maut hampir menjemput. Penguin rabun

terbaring menatap awan kelabu. Serpihan

debu memadat jadi batu

senja merah mencengkram padang

luas. Panggung replika “makhsyar” itu

melepuh. Penguin bersimpuh angkuh

Mina

Duaratus tahun

memahati pipi dengan api

Guratan asa hilang terbawa

Duaratus tahun

Pori-pori wajah diluluri

Merendam rindu dalam bisu

Duaratus tahun

Cumbu rayu berembus lepas

Angin malam menghapus jejak

Duaratus tahun

berlalu. Malam itu

Jabal Rahmah berbisik,

ia terbang,

Cinta datang

Mekah

Isyarat

Dari kitab-kitab suci

Dari lidah-lidah Nabi

Dari bulir-bulir pasir

Serta gemerincik air

di oase-oase

sunyi:

inilah tanah suci

pertama kali

bumi berdiri

Adam tiba

Jemari mengayam cinta

Lidah berkeluh derita

Tangan mendekap air mata

Di sela gerah mentari

Tanah gersang

Dan bebatuan

legam:

inilah tanah suci

Harapan semua manusia

kembali

Jumrah

Di lorong

Terowongan mina

Zaman terus berganti

Penguin beriringan

Dikawal

sunyi

Kerikil

beterbangan

Menguak suram

Satu persatu

munajat

senyap

angin

menghilang

lenyap ditelan malam

berhari-hari

dikepung

api

Terowongan

Memasuki terowongan panjang

Mulut komat-kamit membaca mantra

Memasuki terowongan panjang

Tembok batu berbicara mimpi

Memasuki terowongan panjang

Jejak waktu terlihat membisu

Memasuki terowongan panjang

Kurangkul bayangan masa lalu

Memasuki terowongan panjang

hanya ada kegelapan yang tersesat

Kiswah

Menanti purnama

seekor penguin menghitung gelang-gelang tembaga

mengikat gelisah Kabah dengan Kain hitam terjuntai

tangannya terlipat di dada

manik-manik tasbih berdoa seirama detakan jantung

kabah terlihat murung berihram awan yang mendung

penguin semedi

menyobek ujung kain ihram yang melambai gulita semesta

gemuruh riuh menyesaki lorong-lorong kota yang kumuh

senja berakhir

gerimis tipis bernafas dengan doa-doa dan air mata

kabah berselimut dingin malam yang mencekam

Berhala

Pinguin terbesar yang muram, matanya merah, kotor

dan berdarah. Berkalung kampak Ibrahim ia berkuasa

tapi kehilangan percaya diri.

Ia limbung. Entah berapa banyak bayi pinguin dilahap,

tulang jompo dikunyah. Bongkahan tanah mengubur tilas

bangsanya yang tertatih, tragis dan perih.

Perutnya semakin buncit, mengkilat bagai cermin. Sebuah jenak

untuk melihat kekuasaan tampa harga diri. Ia berhenti bernafas

tapi tuahnya semakin ganas dan meluas.

Jubah

pinguin berjubah

bersimpuh pasrah

jiwanya penuh amarah

jubah itu berubah

asal sutra mewah

jadi ilalang teteskan darah

serat-seratnya mengikat

tubuh pinguin yang mabuk

mewujud tampa bentuk

Hajar

Di bukit Shofa sehelai jiwa terikat lara

Menanti kekasih tiba. Ia berlari. Tujuh kali

Kekasih tak kembali

Teringat bayinya. Terpanggang di atas perapian

Tunggang langgang ia berlari. Menginjak kerikil

Tajam dan pasir-pasir yang berdarah

Bagai matahari, ia meyusui Ismail melalui kehangatan

Cinta. Tak sesaatpun ia tingalkan bayinya. Hingga angin

Merebahkannya dalam remang tembang padang pasir

Ia adalah bumi. Yang menumbuhkan, menjaga,

membesarkan Ismail dan semua pohon kenabian

air mata dan keringatnya jadi jiwa para pencinta

Zamzam

Berlari-lari kecil, tatapannya setajam ujung batu

menoreh garis panjang menyilang. Munajat berkayuh

dalam bibir tak berair. Meminta air keluar dari celah batu

Ia sendirian merambah lembah, tak satupun nama terucap.

Ibrahim membuat bibirnya membiru. Saat kelopak langit

terbuka. Matahari membakar sahara yang hitam

Air matanya bagai manik-manik tasbih. menguntai doa

dan senyap dalam gelisah. Semalam suntuk cumbu

musnah. Ia peziarah yang tersesat dalam nektar cinta

Antara shofa marwa ia tegadah. Bumi retak hingga rekah

terbelah. Zamzam mengalir, derita berakhir. Sang bayi

menyesap susu cahaya. Keduanya melantunkan syair nabawi

Ibrahim

Desis ular mengawal malam

Angin menyanyi di dupa altar

: sang Raja tua murka

Berhala-berhala terluka

Bunga kurma memayung

Mengipas keringat deras

: penguin menggeliat

pori-porinya tersumbat

Jejak telapak unta tak nampak

Yang ada hanya goresan kampak

: penguin terus mengembara

Kota tua menyambut mesra

Adat Arab

Tuhan berfirman:

Semua manusia sama!

Mereka Berkata:

Tapi inilah tempat suci

Milik kami!!

Nabi bersabda:

Bersikaplah ramah!

Mereka berkata:

Maaf, ini soal gaya

Bukan marah!!

Ekonom bertutur:

Pembeli adalah raja!

Mereka berkata:

Pembeli kami layani

Cuma nawar? Keluar!!

Dokter berbicara:

Ganti gelas, jangan bergantian!

Mereka berkata:

Satu gelas cukup

Kami cinta persaudaraan!!

Waria bercanda:

Ah, jangan pegang daguku.

Mereka berkata:

Itu janggut. Kalau pantat

Haram!!Takut kentut.

Para feminim mengeluh:

Perempuan ingin dihargai!

Mereka berkata:

Ya, jangan sendiri.

Mau kami temani??

Zaman

Zaman bermuram

Setiap hari, pagi dan senja, datang bencana

Zaman menghitam

Tatkala hujan meneteskan darah haid yang memadat

Zaman berulah

Ia turunkan kaum perempuan dari punggungnya

Zaman berakhir

Saat kaki bayi lelaki menendang perut sang ibu

Mimpi di Hira

mataku
bagai batu
menutupi pintu gua
suasana senyap gulita

hanya mimpi berasap

jangan remukkan batu
walau dengan jemari
biarkan asap

menembus porinya

khidir telah hadir
setia mengeja senja
dengan sunyi
membakar dunia

Kunjungan Menteri di Tanah Suci

ada menteri

berbincang dengan jamaah haji

semua wajah berseri

bukan karena tak ada rasa nyeri

wajah menteri seperti bayi

yang tidak peduli

ada menteri

menjual nasi pada jamaah haji

semua menahan nyeri

di kemah-kemah terpanggang api

bibirnya membaca ayat ilahi

bak srigala penuh dengki

ada menteri

keliling ke semua pemondokan haji

melihat jamaah tertimpa besi,

batu, air dan janji-janji. Sang menteri

berbicara yang sulit dimengerti

Angkuh

Di tempat ini

Tak pernah kulihat

Kepak sayap kupu-kupu

Hanya tangan penguin yang kaku

Di tempat ini

Tak pernah kudengar

Getar sayap kupu-kupu

Hanya doa penguin penuh nafsu

Di tempat ini

Tak pernah kurasakan

Kelembutan kupu-kupu

Hanya keangkuhan penguin yang ragu

Tempat Kelahiran Nabi

--untuk Khodim al-Haramain

tuk cinta

penamu

tak bertinta

Pasar malam menjajakan darah pekat

dan hitam.

tuk dusta

tintamu

tahan lama

sejengkal dari tempat sai cahaya lekas

menepi

tuk pena

bohong

adalah senjata

germis menghisap waktu agar sirna

di kalbu

ya Rasul

Kami tetap setia

Jahiliyah

dari sudut kota—gang-gang kumuh,

loteng-loteng tua dan lalu lalang

manusia—aku memandangi

bangunan tua

batu-batu berserakan

dari sudut kota—arak yang menyengat,

kartu-kartu judi dan air mani

yang tercecer—aku mengingat

tangan-tangan kekar

bayi-bayi telungkup remuk

dari sudut kota—jual beli manusia, warisan

janda-janda dan prilaku barbar

yang keji—aku merinding

srigala-srigala berjubah

jiwa dalam kendali berhala

Gua Hira

Ia sendiri

Menaiki bukit terjal

Dibayangi ribuan kegalauan

Batu-batu tajam

terkelupas

Dalam pelukan nyeri

ia sendiri

Ia berdiri

Di atas bukit sunyi

Memandang kota derita

Angin sahara

Menangis

dalam pelukan Jibril

ia sendiri

Ia semedi

Didekap dinding kering

Sekeliling terasa sepi

Mantra-mantra

hampa

dalam pelukan Ilahi

ia sendiri

Gua Tsur

Keduanya melewati

perkampungan, telinga

membengkak akibat anak

panah yang marah

dan fitnah

Keduanya menoleh, hingga

kampung itu tak tampak

Mata memberi kabar

nafas-nafas penguin

yang terampas

Keduanya mendekap

kaki Tsur, gunung itu

bak wajan ditelungkupkan

hingga laba-laba

tak mau bicara

keduanya saling

memandang, empat mata

berjanji sehati

merpati jadi

saksi

Tayamum

Penguin berguling

di lautan pasir. Mengutuk subuh

dan birahi sang betina

lalu bangun. Fajar tergantung

di antara bunga-bunga kurma

dan jendela rumah tua

Ia tutup jendela

karena silau senyuman sang Nabi

dan wajah merona malu

Dua tangan berdebu. Mengusap

wajah yang malu. Kepala

mengangguk

Mimpi Buruk

Tergeletak di pekuburan Ma’la, penguin mengenang

Nyeri: berita panjang bagai sayatan belati yang membeku

Darah berdesir. Tersobek hatinya. Luka digarami Berita

tak kunjung reda ...

Dari Mandalika, di sebuah kapal penumpang:

balik tirai senyum ombak

Mengintip. Sepoi angin bernapas rindu merayu

mentari pagi hari.

semua sekejap sirna. kabut tipis

beralih rupa. perlahan, ombak menebar jaring api

hujan berbalik ke langit

menggelincirkan impian penumpang

yang terlelap di papan kematian:

gemuruh air mata menggarami lautan,

riak gelombang

berselimut darah, tangisan malam membeku

hingga napas subuh meluluh.

tangan-tangan bayi berdiang di abu dingin

dan kapal itu

ditelan angin malam yang tergenggam asap

lorong samudera dirangkaki

tulang belulang

tak satupun kunang-kunang

menerangi jejak ombak. jauh di belakang,

sisa kehidupan jadi nisan-nisan bermunculan

dari kapal yang berayun ke dasar.

hujanpun menetes, menghisap amis darah,

menggurisnya jadi batu karang

yang siap mencabik bangkai kapal dan

potongan tubuh tampa kepala.

lambat-lambat mendekat,

purnama suram menuntun sekoci

yang terombang-ambing di samudera luas

mencapai pantai yang lama menanti.

tapi

banyak yang tenggelam

tidak muncul kembali.

Oh, Tuhan

Pasti berita ini mengharu seluruh negeri. Dan pekat duka mengikat

Para penguin untuk bersujud dengan kaki luka dan berdarah

Kabar Adam di Arafah

sejak turun dari langit

ia tersungkur di celah laut

ajal begitu dekat

kabar menyebar di darat

ibarat buih terus memuncrat

dusta memang dahsyat

badai tiada surut

selalu ada yang sekarat

dengan-Nya Adam tak sepakat

Embun

: inmemoriam Adam Air

embun panas bersemayan

menitikkan keperihan, desir angin

dan air mata meriap-riap di ujung senja

pertentangan cahaya dan diri yang terbakar

barangkali, bencana itu ibarat hantu

tumpukan jerami berselimut bangkai-bangkai busuk

berpuluh, beratus, beribu bertumbangan.

tampa seutas tali, janji bergelantungan.

selendang putih melilit tubuh adam

terbang sempoyongan dengan kerusakan navigasi,

kantuk membenamkan seribu bencana.

masihkah kematian menakutkan?

Sisa Kepedihan

ada sisa kenangan

pesan terakhir ponsel penghuni keranda,

rangkaian hurup menguapkan aroma

dupa darah mengering di kelopak mata

ada sisa kenangan

percakapan terakhir di bandara,

awan kelam memberaikan angan

luruh tak sempat disemaikan

ada sisa kenangan

kabar terakhir di istana

sang raja terus menebar pesona

jerit tangis dan darah jadi irama

Tausiah dari Tanah Air

agar jantung sehat

naiklah boeing 737

milik Sriwijaya Air, Adam Air, Mandala Airlines

selama 2006 ada terapi menarik:

navigasi yang ruksak

torquelink roda patah

terjun bebas ke celah laut

untuk 2007, semua peserta bisa langsung hilang

tampa harus terbang

agar badan kuat

coba berenang

di Sidioarjo atau Jakarta

ada banyak pilihan di sana:

berendam di lumpur panas

berkubang di air pekat

atau bersenang-senang di kolam air mata

dan keringat. tahun depan, akan ada lomba renang

ke sebrang samudera api

agar perjalanan cepat

banyak pilihan yang ditawarkan

pesawat terbang, kapal laut, kereta api,

mobil, motor atau sepeda ontel

ada pendaratan darurat di bandara

ada penenggelaman masal di semua samudera

ada penghentian paksa sebelum kereta tiba

ada akrobat bis menghantam

pengendara sepeda yang terperosok lubang panas

di jalan raya. agar investasi hemat, memang semua harus sekarat.

Hari Raya

Besok hari raya.

Segerombol pinguin berdayung di lautan pasir

Meninggalkan luka dan bisikan batin yang menggangga.

Besok hari raya.

Padang arafah hangus oleh pelepah kurma yang terbakar api.

Rindu terus menghujam. Walau tanpa baju. Tanpa keju

Besok hari raya.

Angin berteriak, “ hai pinguin, apa yang kalian pakai?”.

Bergema dalam gelak, mengganjal dalam sayatan kenangan.

Besok hari raya.

Baju penuh tambalan dan kaki pinguin yang mengelupas kepanasan

Terus melangkah pasrah. Untuk melihat Tuhan.

Hari raya tiba!

Derita itu sirna. Cinta para pinguin memadat semakin kuat

Mimpi untuk kembali menghantui. Bagai luka digarami.

Raudhah

Walau bintang

mengerdip

Mengajak bercumbu

di pelataran

Sang penguin terengah-engah

Memburu sang Nabi

Di pembaringan

Ia bingung.

Dengus angin sahara

Lambaian pelepah kurma

Nyanyian ghaib semesta

Dan rintihan berjuta hamba

Membutakan langkahnya

Ribuan temali nafsu

Menjulur-julur

Melilit hati

Mengiris jemari

Ia terus bergegas

Memanggil Sang Nabi

O, Muhammad

Pasar Kurma

Rangkaian kurma di ujung mata

Menantang penguin untuk memetiknya

(rangkaian tasbih tercampak

Bibir yang tadi berdzikir tercium anyir)

Nafas surga

Terganti

Dan penguin terpaku

pada tumpukan kurma

ia menatap “ajwa”

dan duapuluh enam jenis lainya

seolah-olah pasar itu sebuah baskom

liur menetes

pedagang protes

Dua hati

Mati

Dua Kiblat

Langit cerah

mengasuh hati Penguin

yang gelisah

: bola mata bergerak jenuh

Jemari beradu

Dalam dada yang terluka

Berlagu pilu

: celeret langit tak nampak

Terasa enggan

Ajakan sholat mengambang

Berdiri kaku

: rakaat demi rakaat sekarat

O, yes!

Paruh kedua ada tawa

Badan berbalik arah

: wajah kembali ke mekah

Ja’ranah

ini soal perempuan pengurai

benang yang ia pintal seharian

Juga soal sumur yang pernah

ditaburi racun kematian

Semua melekat dalam semangat

budak penghianat

namun sepasang mata khusyuk

memecah pekat yang sekarat

sekarang, bukan soal benang dan racun

Dari tempat ini ihram dimulai

Khamar

Hampir tiap hari

Penguin muda terlibat diskusi

Di sebuah warung kecil ia meneguk teh susu

Yang terasa aneh. Serasa khamar

Sudah tiga hari

Penguin muda itu terlibat diskusi

Tentang khamar yang disuguhkan pelayan

Ia tak sadar dan mabuk kepayang

Sudah berkali-kali

Penguin muda itu terlibat diskusi

Di tangannya secangkir khamar. Menyeret

Jiwa ke dunia bawah sadar

Hanya kali ini

Penguin muda itu terlibat diskusi

Dengan mulut bau khamar. Jemarinya

Menggenggam mutiara

Jabal Uhud

Tak ada senyum

berpendar

di puncak-puncak

Gunung Kemerah-

Merahan itu

Hamzah

Jadi tumbal

para pemanah

Di padang pertempuran

Kilauan harta rampasan

Menebar getir kegalauan

Materi menafikan

strategi

sang Nabi

terkulai

galau

Senja di Baqi

Bayangan malam terlihat enggan

Menelusuri dinding pemakaman tua

dipenuhi kepala Penguin mengintip hening

: dari liang lahat berhembus nafas syuhada

ribuah jasad di tanah gembur ini

saling berbisik dengan sunyi senja

Debu membumbung memamerkan rindu

: dari arah masjid terdengar rintihan sebait nasyid

Seekor penguin termanggu rindu

Ia mendengar getar dedaunan surga

Berguguran di batu nisan berserakan

: dari kubah sang nabi ada sulur cahaya Ilahi

Thawaf Wada’

Semua penguin keluar

dari hotel. Kilat mata membentang

Tanah gersang. Ingatan mengacak

Waktu. Suara dzikir terdengar

Parau. Sedikit kacau

Dari balik jendela

Bus merayap kenangan di kaca

Berembun. Ujung air mata ibarat

Jarum. Menjahit setiap pori

Dengan serat racun

Temaram. Kubus batu

Meringkut. Purnama rebah

Di atas hamparan karpet

Merah. Semua penguin

Berpeluk pada Nya

Jalan Pulang

Pinguin-pinguin itu

bergerombol mencari jalan

pulang. Mereka mencoba

menyanyikan lagu lama

pada sirip kaki

yang menyeret tubuh

menuju rumah.

Muncul

isyarat tak dikenal

naik bagai bulan yang pecah

oleh jemari yang luka

parah. Malaikat berdatangan

membawa tali dan menjerat leher

mereka yang didera dahaga

keluar dari sahara

dengan debu yang tebal

terjebak dalam pilhan:

menaiki punggung lautan

bercumbu dengan ombak api

atau melayang dengan

angin badai bercabang-cabang?

Sebuah

Lentera menyala

Untuk arwah para penguin



[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 3 (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal. 850

Tidak ada komentar: